Sabtu, 12 Maret 2011

Kupas Tuntas Masalah Bid’ah Oleh Ulama Ahlussunnah Waljama’ah

Ketika sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya. Seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits.

Penah terjadi dialog menarik. Berikut kami kutip sebagian dialog tersebut dengan tanda “W” untuk wakil Wahabi dan “K” untuk wakil kami.

W : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkan pikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf juga.

K : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?

W : Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.

K: Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i?

W : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.

K : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi?

W : Itu bukan bid’ah.

K : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru tanpa ada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.

W : (Diam)…. Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.

K : Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yang membagi bid’ah menjadi demikian?

W : Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”

K: Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Imam Syafi’i, Ibnu Hajar dan an-Nawawi?

W : Terdiam tidak menjawab.

K : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru telah menistakan ulama Anda sendiri.

******

Orang yang gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan mendahului kita.”

Mereka juga berkata: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.

Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka pakai sebagai perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama.

Ucapan seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil, atau awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW atau para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan bahwa semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah Istimbath (penyimpulan hukum) yang keliru.

Karena tidak-melakukan-nya Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil keharaman amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.

Kaidah mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi dan sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan yang mendalam dari ulama salaf.

Al-Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan harus dihubungkan antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan jelas tentang pengertiannya yang mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat). Dengan demikian maka semua yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan benar).”

Ketika kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan penyataan bahwa Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira bahwa pendapat ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka takutlah kepada Allah dan janganlah bersu’uzhon pada ulama shaleh.

Baiklah, mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita lihat saja apakah mereka berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.

A. HADITS PERTAMA TENTANG BID’AH

Rasulullah SAW bersabda:

كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).

Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]

Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ

“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)

Berkatalah KH. Ali Badri Azmatkhan:
Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.

Allah SWT memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakannya). Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua alasan:

Pertama, Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau bercerita tentang keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.

Kedua, Allah SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]

Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..” (Al-Hujarat : 2)

Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan sebagainya?

Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali

Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Diantaranya:

1. Allah SWT berfirman:

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)

Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.

2. Allah SWT berfirman:

أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً

“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)

Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.

3. Allah berfirman :

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ

“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)

Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur.

Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ

“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml:23)

Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.

Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.

Selain itu, banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas nampak bermakna umum namun sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami bahwa hal ini adalah bisa dalam penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga kita tidak boleh kaku karena terpaku dengan sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan susunan bahasa. Bahkan kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud tkhshish (membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.

Mari kita simak contoh-contoh berikut ini.

1. Allah berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً

“Barang siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu semuanya.” (QS. Fathir: 10)

Dari pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak boleh mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena dalam ayat itu disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah, semuanya dan berarti tidak ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan milik selain Allah. Namun coba perhatikan ayat berikut ini:

وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ

“.. padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. al-Munafiqun : 8)

Ternyata ayat ini menyatakan bahwa kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin. Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua hal berbeda. Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah untuk disebut milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama, nampaknya kita tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan tetapi kalau membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang mengatakan demikian.

2. Allah SWT berfirman:

إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْن

“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan (bahan bakar) neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.” (QS. al-Anbiya : 98)

Ayat ini menyatakan bahwa orang yang menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama sesembahannya. Kalau ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat yang lain, maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga akan masuk neraka, karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang Nasrani. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin disembah dan dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.

3. Rasulullah SAW. bersabda:

“Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan selamat dari neraka. Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat dan Hadits yang lain, maka akan dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka walaupun tidak shalat zhuhur, maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh dan ashar.

4. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya biji hitam ini (habbatus-sauda’) adalah obat bagi semua penyakit, kecuali mati”[10].

Para mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan dalam Hadits ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini sebenarnya ialah “banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa disembuhkan dengan habbatus-sauda’, walaupun kalimat yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu yang berarti semua).

B. HADITS KEDUA TENTANG BID’AH

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)

“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?

Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”

KH. Ali Badri Azmatkhan berkata:
“Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).

Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.

Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.

Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).

Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya.
Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”.[11]

C. HADITS KETIGA

Rasulullah SAW bersabda:

وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا …

“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.“ )HR. Tirmidzi(

Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.

Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :

وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا

‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)

Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:

وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا

“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”

Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:

اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ

“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”

Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:

وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ

“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’

Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat.

Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.

Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.

Referensi:
[1] “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir al-Manar, IX: 60.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8] An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10] Diriwayatkan dari ‘Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.
[11] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.

_____________________________________________

Pendapat Ulama’ tentang Bid’ah

بسم الله الرحمن الرحيم

Penjelasan Salafuna Shalih Tentang Bid’ah

Berikut adalah pandangan-pandangan beberapa ulama salaf yang diakui dunia Islam tentang ketaqwan dan keilmuan mereka tentang masalah Bid’ah.

A. Al-Imam asy-Syafi’I

Sumbangan besar al-Imam asy-Syafi`i RA dalam ilmu Usul Fiqih ialah pembagian beliau terhadap makna ‘perkara baru’ (Bid‘ah) menjadi dua hal pokok, bid’ah hasanah dan sayyiah.

Pendapat beliau ini diriwayatkan secara shahih dari dua murid beliau yang terkenal pada zaman akhir kehidupan beliau, yaitu ulama pakar Hadits Mesir yang bernam Harmala bin Yahya at-Tujaybi dan ar-Rabi` bin Sulaiman al-Muradi.
Harmala berkata, “Aku mendengar al-Imam asy-Syafi’i RA berkata: “Bid‘ah itu ada dua macam: Bid‘ah yang terpuji (bid‘ah mahmudah) dan bid‘ah tercela (bid‘ah madzmumah).
Apa yang sesuai dengan Sunnah itu terpuji dan apa yang bertentangan itu tercela.”[1]

Sedangkan ar-Rabi` juga meriwayatkan dari al-Imam asy-Shafi`i bahwa beliau berkata: “Perkara baharu yang diada-adakan itu ada dua macam: Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar Sahabat atau ijma’ ulama’, maka bid‘ah itu adalah sesat (fa hadhihil-bid‘atu dalalatun). Kedua, perkara baru yang diadakan dari segala kebaikan (ma uhditsa min al-khair) yang tidak bertentangan dengan hal yang disebutkan, yang ini bukan bid‘ah dicela (wa hadhihi muhdatsatun ghairu madzmumah).[2]

Dalam menjelaskan perkataan as-Syafi’i tersebut, al-Imam al-Haitami, al-Qadhi Abu Bakr Ibnu al-`Arabi dan al-Imam al-Laknawi berkata: “Bid‘ah dipandang dari segi Syari‘at ialah segala perkara baru yang diadakan dan bertentangan dengan hukum yang diturunkan Allah, baik berdasarkan dalil-dalil yang nyata atau pun dalil-dalil umum. Maka, hanya Bid‘ah yang menyalahi Sunnah saja yang tercela”.[3]

Mereka menyimpulkan dan berkata: “Maka sangat keliru bila perkara baru dipandang Bid’ah hanya semata-mata kerana ia ‘perkara baru’. Kebid’ahan perkara baru itu ditentukan dengan dalil-dalil syar’i.

B. Al-Imam al-Baihaqi

Al-imam al-Baihaqi menjelaskan panjang lebar tentang masalah bid’ah, diantaranya beliau berkata: “Begitu juga dalam hal penjelasan aqidah, hal tersebut adalah bid‘ah, karena ilmu aqidah adalah menjabarkan beberapa kaidah kepada orang awam yang tidak dikenal sebelumnya (pada zaman Nabi dan sahabat). Namun demikian, hal itu adalah perkara baru yang terpuji (mahmudah) karena ia bertujuan untuk membantah kepalsuan Bid‘ah ahli falsafah kala itu.”

Beliau juga berkata: “Rasulullah SAW ditanya tentang Qadha’ dan Qadar dan jawabannya adalah sebagaimana yang kita dengar sampai hari ini. Pada masa itu, para Sahabat sudah berpuas hati dengan jawaban yang diberikan oleh Rasulullah SAW.

Namun pada zaman kita ini, banyak ahli Bid’ah yang menyatakan tidak puas dengan jawaban Rasulullah tersebut sehingga mereka tidak mau menerimanya. Nah, untuk menangkis serangan (untuk menolak beberapa ketentuan akidah) yang mereka sebarkan kepada kaum muslimin, kita perlu berhujjah dengan menggunakan kaidah pembuktian yang bisa diterima oleh mereka. Dan sesungguhnya usaha ini, meskipun Bid’ah (baru), datangnya dari Allah juga.”[4]

Ini merupakan pembelaan al-Imam al-Baihaqi secara terang-terangan terhadap keperluan ilmu kalam (falsafah ketuhanan) dan sifatnya yang sejalan dengan tuntutan Sunnah, demi untuk mempertahankan ajaran Islam dari pelaku Bid‘ah. Pendirian yang hampir sama juga bisah dilihat di kalangan para Imam besar seperti Ibnu `Asakir, Ibnus-Shalah, an-Nawawi, Ibnus-Subki, Ibn `Abidin dan lainnya.

C. Al-Qadhi Abu Bakar Ibnnul-‘Arabi al-Maliki.

Beliau berkata ketika mengulas masalah bid’ah: “Ketahuilah bahawa Bid‘ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah Bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan dengan apa yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan oleh para Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar, maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia baru.

Allah SWT berfirman:

مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلاَّ اسْتَمَعُوْهُ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ

“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur`an pun yang baru (muhdats) dari Tuhan mereka, melainkan mereka men-dengarnya, sedang mereka bermain-main” (QS. al-Anbiya`: 2).

Dan perkataan Sayyidina `Umar RA: “Alangkah bagusnya bid‘ah ini!”
Kesimpulannya, Bid‘ah tercela hanyalah perkara baru yang bertentangan dengan Sunnah, atau perkara baru yang diadakan dan membawa kita pada kesesatan.”[5]

D. Hujjatul-Islam al-Imam al-Ghazali.

Ketika mengulas masalah penambahan ‘titik’ pada huruf ayat-ayat al-Qur’an, al-Imam al-Ghazali berkata: “Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti sembahyang Terawih secara berjama’ah, ia adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu.[6]

E. Ibnu Hazm az-Zahiri

Ibn Hazm al-Zahiri berkata: “Bid‘ah dalam agama adalah segala hal yang datang pada kita dan tidak disebutkan didalam al-Qur’an atau Hadits Rasulullah SAW. Ia adalah perkara yang sebagiannya memiliki nilai pahala, sebagaimana yang diriwayatkan dari Sayyidina`Umar RA: “Alangkah baiknya bid‘ah ini!.” Ia merujuk pada semua amalan baik yang dinyatakan oleh nash (al-Qur’an dan Hadits) secara umum, walaupun amalan tersebut tidak ddijelaskan dalam nas secara khusus. Namun, Di antara hal yang baru, ada yang dicela dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya.[7]

F. Ibnul-Jauzi

Ibnu Jauzi menyatakan hal yang sama dalam kitabnya, Talbis Iblis. Beliau berkata: “Ada banyak perkara baru (muhdats) yang diamalkan orang dan tidak berlawanan dengan Syari‘at. Ulama mereka salaf menganggap bahwa hal tersebut tidak mengapa untuk diamalkan.”

G. Ibnul-Atsir al-Jazari

Pakar kamus bahasa Arab, Ibnul-Atsir menyebut di dalam kitabnya, an-Nihayah fi Gharib al-Hadits wal-Atsar:

“Bid‘ah itu ada dua macam: Bid‘ah petunjuk (bid‘atu huda) dan bid‘ah yang sesat (bid`atu dalalah). Segala hal yang menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya adalah terkutuk dan dipersalahkan. Dan segala hal yang masuk dalam keumuman ketentuan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintahkan atau anjuran, adalah hal yang dipuji. Rasulullah SAW telah menyebutkan bahwa amalan seperti itu diberi pahala.

Beliau bersabda: ‘Barang siapa memulai suatu amalan yang baik dalam Islam, maka ia memperoleh pahalanya dan paha orang-orang yang mengikutinya’. Begitu juga sebaliknya, Rasulullah SAW bersabda: ‘Barang siapa yang memulai amalan buruk dalam Islam, maka ia memikul dosanya dan dosa orang lain yang mengikutinya.’[8]

Dengan demikian, Hadits yang menyebutkan “setiap yang baharu itu sesat”[9] hendaknya disimpulkan dengan “segala hal baru yang bertentangan dengan asas-asas Syari‘at dan menyalahi Sunnah.[10]

H. Al-Imam al-Izz Ibnu Abdissalam

Syaikhul Islam Sulthanul-Ulama’ al-Imam al-`Izz Ibnu Abdissalam juga menjelaskan tentang masalah bid’ah, beliau berkata: “Di sana ada beberapa macam perkara baru (Bid‘ah). Pertama, perkara yang tidak dilakukan dalam Islam namun syari‘at menyatakannya sebagai hal terpuji, bahkan ada yang dinyatakan wajib. Kedua, perkara yang tidak dilakukan dalam Islam namun syari‘at membenci dan mengharamkannya. Ketiga, perkara yang tidak dilakukan dalam Islam dan syari‘at membolehkannya.”[11]

Dalam kesempatan lain beliau menyebutkan bahwa Bid‘ah itu ada lima macam, sama dengan lima hukum yang simpulkan oleh ulama fiqih untuk hal perbuatan manusi, yaitu wajib, haram, sunnah (mandub), kakruh dan mubah (boleh).[12]

I. Al-Imam An-Nawawi

Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata: Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.”

Beliau melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imam kaum muslimin yang ilmunya sudah diakui, seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada perkara-perkara wajib (wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh (mubahat).
Seharusnya, cara menilai suatu Bid‘ah itu dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia disukai, apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.”[13]

J. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani

Beliau berkata: “Kalimat ‘bid‘ah’ itu berarti sesuatu yang dibuat tanpa ada contoh sebelumnya. Lalu kalimat itu digunakan dalam istilah Syari‘at sebagai lawan dari Sunnah, dan karena itulah iapun menjadi tercela. Namun, jika diteliti (ternyata tidak mesti seperti itu), sekiranya hal baru tersebut termasuk hal yang digalakkan oleh Syari‘at maka ia adalah Bid‘ah yang baik (Bid‘ah Hasanah), jika ia termasuk hal yang dibenci maka ia adalah Bid‘ah buruk (mustaqbahah). Selain dari itu adalah Bid’ah yang boleh (mubah). Bid’ah juga bisa dibagi menjadi lima kategori.”[14]

K. Al-Imam asy-Syaukani

Beliau menyatakan -di dalam kitabnya yang terkenal, Nail al-Authar- bahwa Bid‘ah terbagi menjadi “baik” dan “buruk”. Menurut beliau, pandangan seperti inilah yang paling kukuh dan kuat.[15]

L. Al-Imam al-Hafizh Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi

Ketika mengomentara pendapat al-Imam asy-Syafi’i, al-Qurthubi berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan asy-Syafi’i tentang pembagian bid’ah), saya katakan bahwa makna Hadits Nabi SAW yang berbunyi ‘Seburuk-buruk perkara adalah hal yg baru, semua hal yang baru adalah Bid’ah, dan semua Bid’ah adalah sesat’ bermaksud hal-hal yang tidak sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah Rasul SAW dan perbuatan Sahabat Rasul.

Sesungguhnya hal ini telah diperjelas oleh Hadits lainnya, yaitu “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.”[16] Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya Bid’ah pada Bid’ah yang baik dan Bid’ah yang sesat”.[17]

M. Al-Imam as-Suyuthi

Al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi berkata: “Hadits ‘Bid’ah Dhalalah’ ini bermakna ‘Aammun makhsush’ (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), sama dengan firman Allah:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا

“.. yang menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya..” (QS. Al-Ahqaf : 25), padahal tidak semua dihancurkannya.

Sama juga dengan ayat:

وَلكَنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّيْ لأَمْلَئَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

“Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia semuanya.” (QS As-Sajdah : 13) (padahal kenyataannya tidak semua manusia masuk neraka. Ayat ini bukan bermakna semua jin dan manusia, melainkan hanya yang musyrik dan zhaim dari mereka). Sama juga dengan Hadits: “Aku dan hari Qiamat bagaikan kedua jari ini”, Padahal Qiamat masih ribuan tahun lagi.[18]

Pendapat Jumhur (Kebanyakan) Ulama’ Madzhab

Ulama dari empat madzhab telah sepakat dengan klasifikasi Bid’ah terbagi pada lima hukum seperti yang dikemukakan oleh al-Imam al-Izz bin Abdissalam, seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya. Berikut diantara Ulama dari empat madzhab yang berpendapat demikian:

1. Dari madzhab Hanafi: Al-Kirmani, Ibnu Abidin, at-Turkmani, al-`Aini dan at-Tahanawi.[19]

2. Dari madzhab Maliki: at-Turtusyi, Ibnul-Hajj, al-Qarafi dan az-Zurqani. Tidak termasuk asy-Syathibi.[20] Pendapat asy-Syathibi inilah yang kemudian diangkat oleh Rasyid Ridha, Salim Hilali dan Muhammad Abdussalam Khadir asy-Syuqairi (murid Rasyid Ridha). Asy-Syuqairi menulis buku berjudul as-Sunan wal-Mubtada`at al-Muta`alliqah bil-Adzkar wash-Shalawat yang di penuhi dengan berbagai riwayat tidak shahih.

3. Dari madzhab asy-Syafi’i: Semua berpendapat sama.[21]

4. Dari madzab Hanbali: Generasi salaf telah sepakat dengan pendapat asy-Syafi’i. Kemudian dari kalangan muta’akhirin mencoba mengingkarinya dengan mengatakan bahwa pembagian syafi’i dan Izzudin terhadap bid’ah adalah dari segi bahasa.[22] Dan pembagian bid’ah menurut bahasa adalah pendekatan yang sering dibawakan oleh golongan anti Bid’ah Hasanah untuk mendukung pendapat mereka. Mereka tetap bersikukuh bahwa semua “Bid’ah” (termasuk Bid’ah Hasanah) adalah sesat, meskipun pendapat itu bertentangan dengan realitas dan pendapat jumhur ulama.

Pendapat asy-Syafi’i juga didukung oleh al-Imam as-Suyuthi, sebagaimana yang beliau tulis dalam risalah yang berjudul “Husnul Maqashid fi ‘Amalil-Maulid” dan “Al-Mashabih fi Shalatit-Tarawih. Didukung pula oleh al-Imam Az-Zarqani seperti yang beliau tulis dalam kitab “Syarah al-Muwattha’, Didukung pula oleh al-Imam Ali al-Qari seperti yang beliau tulis dalam kitab “Syarhul-Misykah. Didukung pula oleh al-Qusthallani seperti yang beliau tulis dalam kitab “Irsyadus-Sari Syarah Shahih al-Bukhari”. Dan masih banyak lagi ulama yang lain.

Demikianlah pendapat para imam besar yang telah terekam dalam berbagai kitab turats (klasik). Masih banyak lagi yang tidak sempat terekam pendapatnya, karena memang ketika itu penulisan kitab tidak semudah sekarang. Setidaknya, ketika mereka diam berarti mereka setuju, karena kalau memang mereka menganggap pendapat asy-Syafi’i sebagai kesesatan, maka tidaklah mungkin mereka diam saja tanpa menulis buku kritikan. Pendapat asy-Syafi’i diterima oleh ulama di zaman beliau hingga ulama berikutnya. Barulah pada abad akhir ini muncul segolongan ulama yang menyalahkan pendapat para Imam besar hujatul-Islam tersebut, bahkan berani menganggap pendapat mereka sesat.

Saudaraku, Ketika kita sama-sama berguru dan berpendapat menurut guru, maka bersyukurlah karena kita berguru pada Imam-imam besar seperti asy-Syafi’i sang perintis madzhab, an-Nawawi sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih Muslim, al-Ghazali sang Hujjah penulis Ihya Ulumiddin, al-Baihaqi sang ahli dan perawi Hadits, as-Suyuthi sang pakar berbagai disipliln Ilmu Islam, al-Asqalani sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih al-Bukhari, al-Qurthubi sang pakar dan penulis kitab Tafsir, al-Qusthallani sang ahli Hadits penuli Syarah Shahih al-Bukhari dan sebagainya.

Kalau guru-guru kita itu dianggap sesat. Lalu siapa ulama yang bisa dibanggakan oleh umat Islam. Mereka yang dianggap sesat itu telah mengharumkan nama Islam dengan pemikiran dan karya-karya mereka. Coba kita tanyakan pada hati kita, seandainya kita harus memilih, siapa yang sebaiknya tidak pernah hidup di dunia ini, apakah asy-Syafi’i dan sebagainya atau ulama abad ini yang menganggap asy-Syafi’i sesat? Apa yang kita miliki kalau kita mencoret nama-nama mereka dan membuang karya-karya mereka dari rak buku kita.

Apa yang tersisa dari khazanah keilmuan Islam kalau kita membuang kitab-kitab asy-Syafi’i, Syarah Shahih Muslim (an-Nawawi) kitab Ihya’ Ulumiddin, Fathul Bari, Irsyadussari, Syarah Muwattha’ (az-Zarqani), Syarhul-Misykah dan sebagainya. Kalau mereka dianggap sesat dan karya-karya mereka dicekal, maka yang tersisa dari kekayaan umat Islam adalah ulama pencaci maki dan buku-buku yang dipenuhi dengan mengupat ulama salaf.”[23]

Syekh Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Seorang ulama tidaklah bisa disebut Imam (rujukan) dalam sebuah disiplin ilmu, apabila ia masih mengikuti pendapat yang ganjil (menyalahi pendapat yang lebih masyhur di kalangan Imam-imam besar).”

[1] Abu Nu’aim dalam “Hilyat al-Awliya’”, IX : 121, Abu Shama dalam “al-Ba`its `ala Inkar al-Bida` wal-Hawadits”, hal. 93, Ibn Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam”, hal. 267, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253, al-Turtusyi dalam “al-Hawadits wal-Bida`, hal. 158-159, dan asy-Syaukani dalam “al-Qaul al-Mufid fi Adillat al-Ijtihad wat-Taqlid, hal. 36. Riwayat dari Saidina `Umar disebut oleh Imam Malik dalam al-Muwattha’ dan al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari

[2] Diriwayatkan dari al-Rabi` oleh al-Bayhaqi didalam “al-Madkhal” dan “Manaqib asy-Syafi`i, I : 469 dengan sanad shahih dan dishahihkan juga oleh Ibnu Taimiyyah dalam “Dar’u Ta`arud al-`Aqli wan-Naqli, hal. 171 dan melalui al-Baihaqi oleh Ibn `Asakir dalam “Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam “Siyar”, VIII : 408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam, II : 52-53, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253.

[3] Al-Haitami, “at-Tabyin fi Syarh al-Arba`in”, hal. 32, Ibnul-`Arabi, “`Aridat al-Ahwadzi, X : 147.

[4] Al-Baihaqi, “Manaqib asy-Shafi`i”, I : 469.

[5] Ibnul-`Arabi, “`Arid at al-Ahwadzi”, X : 146-147.

[6] Al-Ghazzali, “Ihya’ `Ulumiddin, I : 276.

[7] Ibnu Hazm, “al-Ihkam fi Usul al-Ahkam”, I : 47.

[8] Diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah al-Bajali oleh Imam Muslim, al-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi. Juga diriwayatkan dengan kalimat yang mirip dari Abu Hurairah oleh Ibnu Majah dan Ahmad, dari Abu Juhaifah oleh Ibn Majah dan dari Hudzaifah oleh Imam Ahmad.

[9] Diriwayatkan dari al-`Irbad bin Sariyah oleh at-Tirmidzi (Hasan Shahih), Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi, Ibn Hibban, I : 178-179, al-Hakim menyatakan shahih, I : 95-97, adz-Dzahabi juga menyatakan Shahih dalam “al-Madkhal ila ash-Sahih”, hal. 80-81, al-Ajurri dalam “asy-Syari`ah”, hal. 54-55, Ibnu Abi `Asim dalam “as-Sunnah”, hal. 29, at-Thahhawi dalam “Musykil al-atsar”, II : 69, Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam “as-Sunnah”, hal. 26-27, al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnadnya, I : 197-198, ar-Ruyani dalam Musnadnya, I : 439, Abu Nu`aim dalam “Hilyat al-Awliya’”, V : 220-221, X : 115, at-Thabarani dalam “Musnad asy-Syamiyyin”, I : 254, I : 402, I : 446, II : 197, II : 298 dan “al-Kabir”, XVIII : 245-257, al-Baihaqi dalam “as-Sunan al-Kubra, X : 114, “al-Madkhal”, hal. 115-116, al-I`tiqad, hal. 229 dan “Syu`ab al-Iman, VI : 67, al-Baghawi menyatakan Hasan dalam “Syarh as-Sunnah, I : 205, Ibnul-Atsir dalam “Jami` al-Usul”, I : 187, I : 279, Ibnu `Asakir dalam “al-Arba`in al-Buldaniyyah”, hal. 121, Ibnu Abdil-Barr menyatakan Shahih dalam “at-Tamhid, XXI : 278-279 dan “Jami` Bayan al-`Ilm”, II : 924 dan lain-lain.

[10] Ibnul-Atsir, “an-Nihayah”, I : 79.

[11] Ibnu Abdisalam, “al-Fatawa al-Mushiliyyah”, hal. 129.

[12] Ibnu Abdisalam, al-Qawa`id al-Kubra, II : 337-339, an-Nawawi dalam “al-Adzkar”, hal. 237 dan “Tahdzib al-Asma’ wal-Lughat”, III : 20-22, asy-Syathibi dalam “al-I`tisham”, I : 188, al-Kirmani dalam “al-Kawakib ad-Darari”, IX : 54, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253-254, as-Suyuthi dalam “Mukaddimah Husnul-Maqsid” dan dalam “al-Hawi lil-Fatawi, al-Haytami dalam Fatawa Haditsiyah, hal. 150, Ibnu Abidin dalam “Radd al-Mukhtar”, I : 376 dan lain-lain.

[13] An-Nawawi, “Tahdzib al-Asma’ wal-Lughat”, III : 20-22.

[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, V : 156-157.

[15] Asy-Syaukani, Nailul-Authar, IV : 60.

[16] Shahih Muslim, Hadits no. 1017

[17] Tafsir al-Imam al-Qurthubi, II : 87.

[18] Syarh Assuyuthi, III : 189.

[19] Al-Kirmani, “al-Kawakib ad-Darari Syarh Shahih al-Bukhari, IX : 54, Ibnu Abidin, “al-Hasyiyah”, I : 376, I : 560, at-Turkmani, “al-Luma` fil-Hawadits wal-Bida`, I : 37, at-Tahanawi, “Kassyaf Istilahat al-Funun, I : 133-135, al-Himyari, “al-Bid`ah al-Hasanah” (hal.152-153).

[20] At-Turtushi, “al-Hawadits wal-Bida`, hal. 15, 158-159, Ibnul-Hajj, “Madkhal asy-Syar` asy-Syarif, II : 115, al-Qarafi, “al-Furuq”, IV : 219, asy-Syathibi, “al-I`tisham, I : 188-191, az-Zurqani, “Syarh al-Muwattha’, I : 238.

[21] Abu Syama, “al-Ba`its `ala Inkar al-Bida` wa al-Hawadits”, hal. 93.

[22] Ibnu Rajab, “al-Jami` fil-`Ulum wal-Hikam”, II : 50-53.

[23] KH. Ali Badri Azmatkhan, klarifikasi masalah khilafiyah.

_____________________________________________________

Hubungan Antara Ijtihad dengan Bid’ah Hasanah

بسم الله الرحمن الرحيم

Dalam istilah ushul-fiqih, hal yang tidak dikerjakan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah disebut “at-Tark”, yang secara bahasa artinya meninggalkan suatu pekerjaan. Ulama ushul sepakat bahwa at-Tark bukan berarti larangan. Ketika Nabi tidak mengerjakan sesuatu bukan berarti beliau tidak menganggapnya haram. Ini adalah suatu hal yang sangat logis dan tidak harus sangat cerdas untuk memahaminya.

Sering ada yang berkata: “Kalau memang ini baik tentu Rasulullah sudah mengerjakannya.” Ini adalah pemahaman yang kaku. Rasulullah sudah memberi kita dasar untuk pengembangan bentuk amaliah, sehingga beliau tidak harus memberi terlalu banyak contoh kepada kita. Kelebihan umat Muhammad adalah kepedulian mereka terhadap dunia keilmuan, sehingga tanpa harus diberi banyak contoh mereka akan kreatif.

Banyak hal yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah, mungkin karena tidak sempat, tidak terfikir atau situasi tidak mendesak untuk itu. Suatu contoh, Rasulullah SAW baru terfikir untuk puasa Asyura’ setelah melihat orang Yahudi mengerjakannya, karena puasa adalah salah satu bentuk ibadah yang layak untuk dikerjakan sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah berkaitan dengan hari Asyura’. Seandainya dari dulu orang Yahudi tidak puasa Asyura’, bisa jadi beliau tidak berpuasa Asyura karena tidak terfikir oleh beliau untuk itu.

Atau seandainya orang Yahudi melakukan walimah untuk memperingati hari Asyura’, bisa jadi Rasulullah juga akan memperingati hari Asyura dengan bentuk walimah, bukan puasa, karena walimah adalah salah satu bentuk ibadah shodaqoh yang juga layak untuk dikerjakan sebagai ungkapan rasa syukur.

Demikian juga dengan istilah “beriman sesaat”. Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik, bahwa Sahabat Abdullah bin Rawahah sering mengajak orang untuk dzikir bersama dengan berkata:

تَعَالَ نُؤْمِنُ بِرَبِّنَا سَاعَةً

“Mari kita beriman pada Tuhan kita sesaat”

Suatu ketika Abdullah bin Rawahah mengatakan itu pada seseorang dan orang itu langsung marah, ia menganggap Abdullah bin Rawahah telah membuat Bid’ah dengan kalimat “beriman sesaat”, iapun mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW dengan berkata:

يَا رَسُوْلَ الله أَلاَ تَرَى إِلى ابْنِ رَوَاحَةَ يَرْغَبُ عَنْ إِيْمَانِكَ إِلَى إِيْمَانِ سَاعَة

“Ya Rasulullah, sesungguhnya Abdullah bin Rawahah telah meninggalkan iman dengan caramu dan memilih iman sesaat.”

Maka Rasulullah SAW berkata:

يَرْحَمُ اللهُ ابْنَ رَوَاحَةَ إِنَّهُ يُحِبُّ الْمَجَالِسَ الَّتِيْ تُبَاهِى بِهَا الْمَلاَئِكَة

“Semoga Allah merahmati Abdullah bin Rawahah, dia itu menyukai majlis yang dibanggakan oleh para Malaikat.”

Riwayat lain menyatakan bahwa Sahabat Mu’adz bin Jabal juga sering mengungkapkan kalimat itu. Sepertinya, Abdullah bin Rawahah adalah orang bertama yang memiliki ide kalimat “beriman sesaat”. Setelah kasus pengaduan kepada Rasulullah itu kemudian kalimat ini menjadi populer dan Mu’adz bin Jabal yang paling sering menggunakannya.

Coba kita perhatikan, seandainya inisiatif itu tidak muncul dari seorang Abdullah bin Rawahah atau Mu’adz bin Jabal, mungkin tidak akan pernah ada ikrar dari Rasulullah bahwa istilah “beriman sesaat” itu boleh digunakan.

Dari dua riwayat itu dan riwayat lain yang senada, kita bisa menyimpulkan, bahwa Rasulullah sudah memberikan contoh kepada kita sebagai dasar pemikiran untuk inisiatif baik. Apalagi lagi Rasulullah pernah bersabda “Man Sanna Sunnatan ..” (Barang siapa yang mengawali suatu bentuk perbuatan baik dst). Maka kumpulan riwayat itu menyimpulkan seolah-olah Rasulullah SAW berkata “Cerdaslah dan kreatiflah kalian, selama ide kalian itu baik dan tidak menyalahi Syari’at.”

_________________________________________

Dan sebagai tambahan dari hadiah ku ini, berikut tulisan yang saya kutip dari Tim Lembaga Bahtsul Masa’il PC NU Jember dalam buku : “Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & DzikirSyirik” yang juga menyebutkan Dalil – dalil tentang adanya Bid’ah Hasanah yang dilakukan oleh para Sahabat ra pada masa Rasulullah, yaitu :

1. Hadits Muadz bin Jabal ra, yang diriwayatkan oleh al Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir(20/271) dan al Imam Ahnad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain, yang menceritakan hal yang beliau (Muadz) lakukan ketika terlambat datang shalat berjama’ah. Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam Ibadah, seperti shalat atau lainnya apabila sesuai dengan tuntunan syara’.

2. Hadits al Ash bin Wa’il ra, yang diriwayatkan oleh al Thabarani, Al Hafizh al Haitsami –guru al Hafizh Ibnu Hajar- mengatakan dalam Majmu Zawaid (6/10631) para perawi hadits ini tsiqat dan perawi hadits shahih, yang menceritakan bagaimana suku Dzuhl bin Syaiban bertawassul dengan nama Nabi atas inisiatif pemimpin mereka dan belum mereka pelajari dari Nabi saw. Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dengan demikian tidak selamanya perbuatan yang tidak diajarkan oleh Nabi saw selalu keliru dan buruk.

3. Hadits Bilal ra, yang diriwayatkan oleh al Bukhari (1149), Muslim (6247), al Nasai dalam Fadhail al Shahabah (132), al Baghawi (1011), Ibn Hibban (7085), Abu Ya’la (6104), Ibn Khuzaimah (1208), Ahmad (5/354), dan al Hakim (1/313), yang menceritakan bagaimana beliau (Bilal ra) selalu menjaga wudhu dan shalat dua rakaat setiap selesai adzan ataupun wudhu. Hadits ini memberikan faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena Bilal memperoleh derajat tsb berdasarkan Ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan, dan tanpa bertanya kepada Nabi saw.

4. Hadits Ibnu Abbas ra, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3061), yang menceritakan beliau (Ibnu Abbas ra) mundur ke belakang berdasarkan Ijtihadnya, padahal sebelumnya Rasulullah saw telah menariknya berdiri lurus di sebelah beliau. Hadits ini membolehkan berijtihad membuat perkara baru dalam agama apabila sesuai dengan syara’.

5. Hadist Ali Bin Abi Thalib ra, yang diiriwayatkan oleh Imam Ahmad (865), yang menceritakan bagaimana Abu Bakar ra membaca Al Quran dengan suara lirih dan Umar ra yang membaca dengan suara keras, sedangkan Ammar membaca dengan mencampur berbagai ayat al Qur’an. Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat Bid’ah Hasanah dalam agama. Ketiga sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihadnya masing-masing. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan oleh oleh Nabi saw pasti buruk atau keliru. Dan agaknya cara Ammar bin Yasir membaca Al Quran sesuai dengan Tradisi Tahlil di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah Indonesia.

6. Hadits Amr bin Ash, yang diriwayatkan oleh Abu dawud (334), Ahmad (4/203), al Daruquthni (1/178), yang menceritakan beliau (Amr bin Ash) melakukan tayamum karena kedinginan berdasarkan ijtihadnya. Dengan demikian tidak semua perkara yang tidak diajarkan oleh Nabi saw itu pasti tertolak, bahkan dapat menjadi Bid’ah Hasanah apabila sesuai dengan tuntunan syara seperti dalam hadits ini.

7. Hadits Umar bin Khaththab ra, yang diriwayatkan oleh Muslim (1357), al Tirmidzi (3592), al Nasai (884) dan Ahmad (2/14), yang menceritakan seorang laki laki yang mengucapkan Allahu akbar kabiran wal hamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashila.

8. Hadits Rifa’ah bin Rafi’ ra, yang diriwayatkan oleh al Bukhari (799), al Nasai (1016), Abu Dawud (770), Ahmad (4/340), dan Ibnu Khuzaimah (614), yang menceritakan kedua orang sahabat yang mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi saw, yaitu menambah bacaan dzikir dalam Iftitah dan dzikir dalam I’tidal. Hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, apabila tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi saw), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.

Bahkan di dalam buku tersebut juga diceritakan bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal melakukan Bid’ah Hasanah yang belum pernah dilakukan oleh Nabi saw, yaitu beliau mendoakan Imam Syafi’i di dalam shalatnya selama 40 tahun (Al Hafizh al Baihaqi, Manaqib al Imam al Syafi’i, 2/254), dan bagaimana beliau membaca doa Khatmil Qur’an sebelum ruku’ (Ibn al Qayyim, Jala’ al Afham, hal. 226),

Dan juga diceritakan bagaimana Bid’ah Hasanah yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah dalam berzikir yaitu membaca mengulang-ulang surat al fatihah dari sejak setelah shalat subuh hingga matahari naik sambil pandangannya selalu diarahkan ke langit tanpa ada nash dari Nabi saw. (Umar bin Ali al Bazzar; Al A’lam al Aliyah fi Manaqib Ibn Taimiyah, hal 37-39).