Jumat, 11 Maret 2011

tulisane wahabi tentang tahlil...... versi lain blm tak carikan

Tahlilan dalam Pandangan NU, Muhammadiyah, PERSIS , Al Irsyad, Wali Songo, Ulama Salaf dan 4 Mazhab


Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid’ahnya Tahlilan

Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita yang masih di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada di alam sana.

Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam membimbing kita menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang berharga, tangisan yang membahana, maupun pesta besar-besaran.

Bila diantara saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak saudara menjadi penghibur dan penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah tersebut, dalam hadits:

“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja’far, karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny (Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)

Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam untuk sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga yang terkena musibah.

Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang akan dikirimkan kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab ‘air’.

Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur yang dibuat itu (menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang melimpah air saja sangat berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir.

Rasulullah telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail, bukan memberi ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau makanan, besok dia akan mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri. Juga amal jariyah yang manfaatnya awet seperti menulis mushaf, membangun masjid, menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan ilmu, yang memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat.

Bilamana tidak mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan. Seandainya dana umat Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa makanan (bahkan banyak makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak yatim atau kurang mampu agar bisa sekolah, membenahi madrasah/sekolah islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang umumnya milik umat lain),atau menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan suatu keharusan, apalagi bila memang tidak mampu. Melakukannya menjadi keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada celaan.

Sebagian ulama menyatakan mengirimkan pahala tidak selamanya harus dalam bentuk materi, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat bacaan al- Qur’an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji, dll; sedang Imam Syafi’i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-Qur’an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil yang memerintahkan hal tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah dan para shahabat.

Berbeda dengan ibadah yang wajib atau sunnah mu’akad seperti shalat, zakat, qurban, sholat jamaah, i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan bagi mereka yang meninggalkannya dalam keadaan mampu.

Akan tetapi di masyarakat kita selamatan kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban agama.

Orang yang meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada orang yang meninggalkan sholat, zakat, atau kewajiban agama yang lain.

Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan diri karena takut akan sanksi sosial tersebut.

Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau barang berharga yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah.

Padahal di dalam al-Qur’an telah jelas terdapat arahan untuk memberikan perlindungan harta anak yatim; tidak memakan harta anak yatim secara dzalim, tetapi menjaga sampai ia dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS al-Isra’: 34) serta tidak membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa’: 6)

Dibalik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung tipuan yang memperdayakan. Seorang yang tidak beribadah/menunaikan kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya prosesi selamatan setelah kematiannya akan menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk menebus kesalahan-kesalahannya.

Juga seorang anak yang tidak taat beribadahpun akan menganggap dengan menyelenggarakan selamatan, telah menunaikan kewajibannya berbakti/mendoakan orang tuanya.

Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:



“…dan aku membenci al-ma’tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat.” (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393) juz I, hal 279)

Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember.

Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan).

Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.

Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64)

Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga wilayah garapan

Pembagian wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi oleh agama yang masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.

Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati oleh lima orang wali, karena pengaruh hindu sangat dominan. Disamping itu pusat kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh Maulana Ibrahim (Sunan Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat)

Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga orang Wali. Pengaruh Hindu tidak begitu dominan. Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali yang ditugaskan di sini adalah : Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria), Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)

Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian barat, ditempati oleh seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati alias Syarief Hidayatullah. Di wilayah barat pengaruh Hindu-Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan) penduduknya telah menjadi penganut agama asli sunda, antara lain kepercayaan “Sunda Wiwitan”

Dua Pendekatan dakwah para wali.

1. Pendekatan Sosial Budaya

2. Pendekatan aqidah Salaf

Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha.

Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.

Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit.

Sebagai contoh dakwah Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang masih beragama Hindu, dapat dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain bunyinya;

Punika sadar sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine njegat; tarekat taren kang osteri; hakikat unggil kapti, kedah rujuk estri kakung, makripat ngentos wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben aku kaidenna yayan rina” (itulah yang namanya sahadat syariat, artinya syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak; sedangkan tarekat artinya meminta kepada istrinya; hakikat artinya menyatu padu , semua itu harus mendapat persetujuan suami istri; makrifat artinya mengenal ; jadilah sekarang hukum itu merupakan syarat bagi mereka yang ingin berumah tangga, sehingga bersenggama itu dapat dilaksanakan kapanpun juga).

Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar di muka, maka ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan), karena Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).

[Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]

Nasehat Sunan Bonang

Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”[1] adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut:

“Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.

Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah.[2]

[1] Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935.

[2] Dari info Abu Yahta Arif Mustaqim, pengedit buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hlm. 12-13.

Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926

Mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid’ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut Thalibin.

Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama, namun tidak melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, bukan termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah.

Di zaman akhir yang ini dimana keadaan pengikut sunnah seperti orang ‘aneh’ asing di negeri sendiri, begitu banyaknya orang Islam yang meninggalkan kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan Sholat Jum’at, puasa Romadhon,dll.

Sebaliknya masyarakat begitu antusias melaksanakan tahlilan ini, hanya segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-muslim pun akan merasa kikuk bila tak melaksanakannya. Padahal para ulama terdahulu senantiasa mengingat dalil-dalil yang menganggap buruk walimah (selamatan) dalam suasana musibah tersebut.

Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)”. (Musnad Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II, hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)

MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA



TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

TANYA :

Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

JAWAB :

Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.

KETERANGAN :

Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:

MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”

Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :

“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.

Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?

Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”

Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).

Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas.

Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.

Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).

[Buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni]

Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam Kitab I’anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166 , Seperti terlampir di bawah ini :

وقد أرسل الامام الشافعي - رضي الله عنه - إلى بعض أصحابه يعزيه في ابن له قد مات بقوله: إني معزيك لا إني على ثقة * * من الخلود، ولكن سنة الدين فما المعزى بباق بعد ميته * * ولا المعزي ولو عاشا إلى حين والتعزية: هي الامر بالصبر، والحمل عليه بوعد الاجر، والتحذير من الوزر بالجزع، والدعاء للميت بالمغفرة وللحي بجبر المصيبة، فيقال فيها: أعظم الله أجرك، وأحسن عزاءك، وغفر لميتك، وجبر معصيتك، أو أخلف عليك، أو نحو ذلك.وهذا في تعزية المسلم بالمسلم.

وأما تعزية المسلم بالكافر فلا يقال فيها: وغفر لميتك، لان الله لا يغفر الكفر.

وهي مستحبة قبل مضي ثلاثة أيام من الموت، وتكره بعد مضيها.ويسن أن يعم بها جميع أهل الميت من صغيروكبير، ورجل وامرأة، إلا شابة وأمرد حسنا، فلا يعزيهما إلا محارمهما، وزوجهما.ويكره ابتداء أجنبي لهما بالتعزية، بل الحرمة أقرب.ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الاباعد - وإن كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام.وجواب منهم لذلك.

(وصورتهما).

ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.فهل لو أراد رئيس الحكام - بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي - بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.

(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده.اللهم أسألك الهداية للصواب.

نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.

قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرحك المنهاج): ويسن لجيران أهله - أي الميت - تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم، للخبر الصحيح.اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم

.

ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع.ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة - كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه.كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.

ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.

ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.

اه.

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشةوالجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.

اه.وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا.

ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا.وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر.وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.

ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما.والله سبحانه وتعالى أعلم.

كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان - مفتي الشافعية بمكة المحمية - غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين.

(الحمد لله) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون.نعم، يثاب والي الامر - ضاعف الله له الاجر، وأيده بتأييده - على منعهم عن تلك الامور التي هي من البدع المستقبحة عند الجمهور.

قال في (رد المحتار تحت قول الدار المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب لجيران أهل الميت، والاقرباء الاباعد، تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم وليلتهم، لقوله (ص): اصنعوا لآل جعفر

طعاما

(ما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم.

ولانه بر ومعروف، ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن يمنعهم من ذلك، فيضعفون حينئذ.وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة.روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه.

وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ.وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع.والله سبحانه وتعالى أعلم.كتبه خادم الشريعة والمنهاج: عبد الرحمن بن عبد الله سراج، الحنفي، مفتي مكة المكرمة - كان الله لهما حامدا مصليا مسلما

Terjemahan kalimat yang telah digaris bawahi atau ditulis tebal di atas, di dalam Kitab I’anatut Thalibin :

1. Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk Bid’ah Mungkar, yang bagi orang yang melarangnya akan diberi pahala.

2. Dan apa yang telah menjadi kebiasaan, ahli mayit membuat makanan untuk orang-orang yang diundang datang padanya, adalah Bid’ah yang dibenci.

3. Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan Bid’ah Mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah, mematikan Bid’ah, membuka banyak pintu kebaikan, dan menutup banyak pintu keburukan.

4. Dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga mayit, karena telah disyari’atkan tentang keburukannya, dan perkara itu adalah Bid’ah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang Shahih, dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : “Kami menganggap berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan , adalah termasuk Niyahah”

5. Dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan sesudah seminggu dst.

Muhammadiyah, PERSIS dan Al Irsyad, sepakat mengatakan bahwa Tahlilan (Selamatan Kematian) adalah perkara bid’ah, dan harus ditinggalkan

Dari Thalhah: “Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata: Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar berkata: Hal itu sama dengan meratap”. (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari Sa’ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq: “Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit”. (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan’any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa’ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan merugi”.

Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara kepada kami, Waki’ bin Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary, beliau berkata: Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah”.

Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu.

“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara’ adalah dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh, atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya makruh.

Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumhukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi’ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).

Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50)

Dari majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an, menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang dilansir oleh kitab al-Aqrimany disebutkan: “al-Khara’ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata: ‘Penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah’. kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan meninggalkannya berarti bid’ah, maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan’. (al-Aqrimany dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).

Dan para ulama berkata: “Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan orang Kafir, oleh karena itu setiap orang seharusnya melarang keluarganya dari menghadiri acara semacam itu”. (al-Aqrimany hal 315 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)

Al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam kitabnya I’anah at- Thalibien menghukumi makruh berkumpul bersama di tempat keluarga mayat, walaupun hanya sebatas untuk berbelasungkawa, tanpa dilanjutkan dengan proses perjamuan tahlilan.

Beliau justru menganjurkan untuk segera meninggalkan keluarga tersebut, setelah selesai menyampaikan ta’ziyah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II, hal 146)

Ibnu Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang hukum dari al-Ma’tam: “Tidak diterima keterangan mengenai perbuatan tersebut apakah itu hadits shahih dari Nabi, tidak pula dari sahabat-sahabatnya, dan tidak ada seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang empat (Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam yang lainnya, demikian pula tidak terdapat keterangan dari ahli kitab yang dapat dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat, tabi’ien, baik shahih maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan ataupun musnad-musnad, serta tidak diketahui pula satupun dalam hadits-hadits dari zaman nabi dan sahabat.

” Menurut pendapat Mufty Makkah al-Musyarafah, Ahmad bin Zainy Dahlan yang dilansir dalam kitab I’anah at-Thalibien: “Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah tersebut adalah mengandung arti menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah, sekaligus berarti menbuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan”. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien juz II, hal 166)

Memang seolah-olah terdapat banyak unsur kebaikan dalam tahlilan itu, namun bila dikembalikan ke dalam hukum agama dimana Hadits ke-5 Arba’in an- Nawawiyah disebutkan: “Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)

Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah instrumen untuk menjaga kemurnian Islam ini meskipun sampai akhir zaman Allah tidak mengutus Rasul lagi. Dibalik larangan bid’ah terkandung hikmah yang sangat besar, membentengi perubahan- perubahan dalam agama akibat arus pemikiran dan adat istiadat dari luar Islam.

Bila pada umat-umat terdahulu telah menyeleweng agamanya, Allah mengutus Rasul baru, maka pada umat Muhammad ini Allah tidak akan mengutus Rasul lagi sampai kiamat, namun membangkitkan orang yang memperbarui agamanya seiring penyelewengan yang terjadi. Ibadah yang disunnahkan dibandingkan dengan yang diada-adakan hakikatnya sangat berbeda, bagaikan uang/ijazah asli dengan uang/ijazah palsu, meskipun keduanya tampak sejenis.

Yang membedakan 72 golongan ahli neraka dengan 1 golongan ahli surga adalah sunnah dan bid’ah. Umat ini tidak berpecahbelah sehebat perpecahan yang diakibatkan oleh bid’ah. Perpecahan umat akibat perjudian, pencurian, pornografi, dan kemaksiatan lain akan menjadi jelas siapa yang berada di pihak Islam dan sebaliknya.

Sedang perpecahan akibat bid’ah senantiasa lebih rumit, kedua belah pihak yang bertikai kelihatannya sama-sama alim.

Ibn Abbas r.a berkata: “Tidak akan datang suatu zaman kepada manusia, kecuali pada zaman itu semua orang mematikan sunnah dan menghidupkan bid’ah, hingga matilah sunnah dan hiduplah bid’ah. tidak akan ada orang yang berusaha mengamalkan sunnah dan mengingkari bid’ah, kecuali orang tersebut diberi kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala kecaman manusia yang diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan mereka serta karena ia berusaha melarang mereka melakukan apa yang sudah dibiasakan oleh mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka Allah akan membalasnya dengan berlipat kebaikan di alam Akhirat”.(al- Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)

Sehingga disimpulkan oleh Majalah al-Mawa’idz bahwa mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal:

1. Membebani keluarga mayit, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.

2. Merepotkan keluarga mayit, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.

3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits, justeru kita (tetangga) yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya. (al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, hal 200)

Kemudian, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab ‘Ianah, ternyata para ulama dari empat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dst merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai agama (hal 285).

Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahuilah bahwa sebenarnya yang menghukumi bid’ah munkarah itu ternyata ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa al- Jamaah, bukan hanya (majalah) Attobib, al-moemin, al-Mawa’idz. tidak tau siapa yang menghukumi sunat, apakah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah atau bukan (hal 286). Dan dapat dipahami dari dalil-dalil terdahulu, bahwa hukum dari menghidangkan makanan oleh keluarga mayit adalah bid’ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim (makruh yang identik dengan haram). Demikian dikarenakan hukum dari niyahah adalah haram, dan apa yang dihubungkan dengan haram, maka hukumnya adalah haram”. (al-Aqrimany hal 315 dalam al- Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)

Kita tidaklah akan lepas dari kesalahan, termasuk kesalahan akibat ketidaktahuan, ketidaksengajaan, maupun ketidakmampuan. Namun jangan sampai kesalahan yang kita lakukan menjadi sebuah kebanggaan. Baik yang menghukumi haram maupun makruh, sebagaimana halnya rokok, tahlilan, dll selayaknya diusahakan untuk ditinggalkan, bukan dibela-bela dan dilestarikan.

BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN

I. MADZHAB HANAFI

  • HASYIYAH IBN ABIDIEN

Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)

  • AL-THAHTHAWY

Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).

  • IBN ABDUL WAHID SIEWASY

Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)

II.MADZHAB MALIKI

  • AL-DASUQY

Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)

  • ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY

Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)

III.MADZHAB SYAFI’I

  • AL-SYARBINY

Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)

  • AL-QALYUBY

Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)

  • AN-NAWAWY

Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)

  • AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI

Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)

  • AL-AQRIMANY

Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)

  • RAUDLAH AL-THALIBIEN an makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)

Adapun penghidang

  1. MADZHAB HAMBALI
  • IBN QUDAMAH AL-MUQADDASY

Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)

  • ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASY

Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)

  • ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY

Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al-Miqna’ (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)

  • MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTY

Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi’ (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)

  • KASYF AL-QANA’

Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)

  • IBN TAIMIYAH

Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)

Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat, bila ada kesalahan mohon maaf dan koreksinya. Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita sebagai upaya untuk memperbaiki umat Islam ini

Anwar Baru Belajar

Di rujuk kepada tulisan:

Catatan Satu Hari, Satu Ayat Qur’an. Dengan editing dan penambahan literatur.

http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest&note_id=119997524710098#!/note.php?note_id=402269969650&id=203164362857&ref=mf

Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama [ NU ] Tentang Tahlilan, Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah

http://www.facebook.com/notes/anwar-baru-belajar/keputusan-muktamar-nahdlatul-ulama-nu-tentang-tahlilan-menyediakan-makanan-kepad/143673375675846



________________________________________________

Catatan Tepi untuk direnungi:

Termasuk dalam kategori hukum yang manakah Tahlilan [selamatan Kematian] ?

Klasifikasi hukum dalam Islam secara umum ada 5 (lima) kalau tidak termasuk; Shahih, Rukhsoh, Bathil, Rukun, Syarat dan ‘Azimah.(Mabadi’ awaliyyah, Abd Hamid Hakim)

1. Wajib : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan berdosa.

2. Sunnah/Mandub : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan tidak apa-apa.

3. Mubah : Tidak bernilai, dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak mempunyai nilai.

4. Makruh : Dibenci, apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan berpahala.

5. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.

Pertanyaan :

1. Apakah Tahlilan [yang dimaksud :Selamatan Kematian] di dalamnya terkandung ibadah ?

2. Termasuk dalam hukum yang mana Tahlilan tersebut ?

Jawab :

1. Karena didalamnya ada pembacaan do’a, baca Yasin, baca sholawat, baca Al Fatikhah, maka ia termasuk ibadah. Hukum asal ibadah adalah “haram” dan “terlarang”. Kalau Allah dan Rasulullah tidak memerintahkan, maka siapa yang memerintahkan ? Apakah yang memerintahkan lebih hebat daripada Allah dan Rasulullah ?

2. Jika hukumnya “wajib”, maka bila dikerjakan berpahala, bila tidak dikerjakan maka berdosa. Maka bagi negara lain yang penduduknya beragama Islam, terhukumi berdosa karena tidak mengerjakan. Ternyata tahlilan, hanya di lakukan di sebagian negara di Asia Tenggara

Wajibkah Tahlilan ? Ternyata tidak, karena tidak ada perintah Allah dan Rasul untuk melakukan ritual tahlilan (Selamatan Kematian : red)

Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah Rasul, sebab Rasulullah sendiri belum pernah mentahlili istri beliau, anak beliau dan para syuhada.

Nah…..berarti hukumnya bukan Wajib, juga bukan Sunnah.

Kalau seandainya hukumnya Mubah, maka untuk apa dikerjakan, sebab ia tidak mempunyai nilai (tidak ada pahala dan dosa, kalau dikerjakan atau ditinggalkan). Sudah buang-buang uang dan buang-buang tenaga, tetapi tidak ada nilainya.

Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang tersisa, yaitu Makruh dan Haram. Makruh apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan berpahala. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.

Jadi….sekarang pilih yang mana ?

Masih mau melakukan atau tidak ?

oleh Anwar Baru Belajar pada 03 Oktober 2010 jam 11:55

Be the first to like this post.
  1. hassan
    Maret 4, 2011 pukul 7:41 am | #1

    mas,, apa ada hadist yang menyebutkan bahwa tidak sah shalat apabila kening kita terhalang oleh rambut saat sujud?
    Wa’alaikumus salam,

    Justru yang ada hadits larangan menyibak rambut ketika sujud,
    Dari Ibnu ‘Abbas berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku diperintah untuk bersujud (dalam riwayat lain; Kami diperintah untuk bersujud) dengan tujuh (7) anggota badan; yakni kening sekaligus hidung, dua tangan (dalam lafadhz lain; dua telapak tangan), dua lutut, jari-jari kedua kaki dan kami tidak boleh menyibak lengan baju dan rambut kepala.”
    (Hadits dikeluarkan oleh Al-Jama’ah)
    Jadi tidak usah menyibak rambut, dan shalat anda tetap sah

    Memang dalam shalat ada tujuh bagian anggota tubuh yang harus menyentuh tanah, yaitu [1] dahi termasuk hidung. [2,3] telapak tangan kanan dan kiri, [4,5] lutut kanan dan kiri, [6,7] ujung kaki kanan dan kiri.

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
    “Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan kiri, [4,5] lutut kanan dan kiri, dan [6,7] ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Sekarang pertanyaannya, lutut ketika shalat menyentuh tanah secara langsung ataukah tidak? atau tertutup kain?
    Maka sebagaimana lutut boleh ditutupi kain, maka jawaban yang sama pula untuk rambut yang menunupi dahi. Semoga paham.

    mas, apa ada hadist nabi tentang mengobati orang yang kemasukan syetan?

    Ada petunjuknya,itu disebutnya dengan merukyah,.. bacaan-bacaan rukyah bisa dipelajari,..
    bisa lihat disini:http://www.almanhaj.or.id/content/2691/slash/0
    Atau donlod ebooknya disini:http://salafiyunpad.files.wordpress.com/2008/01/terapi-pengobatan-dengan-ruqyah-syariyyah.pdf

  2. w0ngndes0
    Februari 12, 2011 pukul 1:14 pm | #2

    jazakhumulloh khiran jaza’ sangat lengkap dan detil penjelasannya.
    afwan ana ijin copy kajiannya u/ post ke FB.

    Waiyyaka,.. silahkan,… mudah-mudahan banyak yang bisa mengambil manfaatnya..

  3. helmi eahyu zulfikar
    Januari 16, 2011 pukul 4:51 am | #3

    mudah-mudahan artikel ini menjadi hidayah buat semuanya baik yang sudah meninggalkan utamanya yang masih melaksanakannya…….amien

    Mudah-mudahan semakin banyak kaum muslimin yang mengamalkan amalan-amalan yang betul-betul diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam..

  4. hasan
    Januari 6, 2011 pukul 3:36 pm | #4

    mas,, masalah tahiyat,, mengacungkan jari telunjuk itu,, apakah saat kita membaca syahadat atau sejak awal kita duduk tahiyat,, tolong ditampilin juga dalilnya ya mas,,

    Berisyarat dengan jari dimulai sejak membaca doa tahiyat sampai akhir, bukan ketika membaca syahadat baru berisyarat dengan jari sebagaimana kebanyakan kaum muslimin melakukannya, hal itu perllu mendatangkan dalil, jika tidak ada dalilnya, maka tidak boleh mengerjakan yang seperti itu, berikut Penjelasannya:

    Meletakkan kedua tangan di atas lutut (atau di atas paha), tangan kanan menggenggam (atau membuat lingkaran antara jari tengah dan ibu jari), dan berisyarat dengan jari telunjuk tangan kanan dengan mengerak-gerakannya.

    عن بن عمر أن النبي صلى اللَّه عليه وسلم كان إذا جلس في الصلاة وضع يديه على ركبتيه ورفع إصبعه اليمنى التي تلي الإبهام فدعا بها ويده اليسرى على ركبته اليسرى باسطها عليها

    Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila duduk dalam shalat, beliau meletakkan kedua (telapak) tangannya di atas kedua lututnya, dan beliau mengangkat jari (telunjuknya) yang kanan, maka beliaupun berdoa (bersamaan) dengan itu, dan (telapak) tangan kirinya terhampar di atas lututnya yang kiri” [HR. Muslim no. 580, At-Tirmidzi no. 294, Ibnu Majah no. 913, dan yang lainnya].

    Dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Umar :

    كان إذا جلس في الصلاة وضع كفه اليمنى على فخذه اليمنى وقبض أصابعه كلها وأشار بإصبعه التي تلي الإبهام ووضع كفه اليسرى على فخذه اليسرى

    “Bahwasannya apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam duduk (tasyahud) dalam shalat, maka beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya. Beliau menggenggam semua jari tangan kanannya dan berisyarat dengan jari telunjuk. Dan meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya” [HR. Muslim no. 580].

    ان وائل بن حجر الحضرمي قال : ……..فوضع كفه اليسرى على فخذه وركبته اليسرى وجعل حد مرفقه الأيمن على فخذه اليمنى ثم قبض بين أصابعه فحلق حلقة ثم رفع إصبعه فرأيته يحركها يدعو بها

    Bahwasannya Wail bin Hujr Al-Hadlrami radliyallaahu ‘anhu berkata : “…..Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lututnya yang kiri pula, dan meletakkan ujung siku tangan kanannya di atas pahanya yang kanan dan beliau pun membuat lingkaran (dengan jari tengah dan ibu jarinya) dan beliau mengangkat jari (telunjuknya). Maka aku pun (yaitu Wail) melihat beliau menggerak-gerakkannya (jari telunjuk) sambil berdoa dengannya” [HR. Ahmad no. 18890; shahih]. [14]

    عن عبد الله بن الزبير قال : …..وأشار بإصبعه السبابة ووضع إبهامه على إصبعه الوسطى

    Dari Abdullah bin Zubair radliyallaahu ‘anhuma : “…..Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berisyarat dengan jari telunjuknya dan meletakkan ibu jarinya di atas jari tengahnya” [HR. Muslim no. 579].

    عن وائل بن حجر قال : ……. ثم أشار بسبابته ووضع الإبهام على الوسطى حلق بها

    Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “…..Kemudian beliau shallallaau ‘alaihi wasallam berisyarat dengan jari telunjuknya dan meletakkan ibu jari di atas jari tengah dengan membuat lingkaran” [HR. ‘Abdurrazzaq no. 2522; shahih].

    Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan hal itu pada setiap tasyahud, baik tasyahud awal maupun akhir.

    عن عبد الله بن الزبير قال كان رسول الله صلى اللَّه عليه وسلم إذا جلس في الثنتين أو في الأربع يضع يديه على ركبتيه ثم أشار بأصبعه

    Dari ‘Abdullah bin Zubair radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila duduk di raka’at kedua atau di raka’at keempat, beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya, kemudian berisyarat dengan jari (telunjuknya)” [HR. Nasa’i dalam As-Shughraa no. 1161; shahih].

    Tatacara menggerakkan jari bisa dilihat disini

    lalu masalah membaca fatihah dibelakang imam ketika imam membaca secara jahr,
    mana kah pendapat yang lebih kuat antara yang bilang wajib baca fatihah ketika imam baca surah atau tidak perlu membaca al-fatihah dibelakang imam apabila imam membacanya dengan jahr, cukup kita dengarkan saja bacaan imam?

    Bacaan imam sudah mencukupi, kewajiban makmum adalah mendengarkan bacaan imam, silahkan baca disini artikel selengkapnya

    syukron

    Afwan…

  5. Fanani
    Januari 5, 2011 pukul 9:56 am | #5

    Assalamualaikum Wr. Wb.

    Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,

    Salam kenal untuk rekan – rekan semuanya. Kalau saudara – saudara yang tidak setuju dengan tahlil, silahkan untuk tidak melakukan tahlilan.
    Akan tetapi, apa yang ada di tulisan ini, amat sangat tidak seimbang sekali.
    Coba disandingkan dengan tulisan di nu.or.id atau pesantrenvirtual.com atau gusmus.net. Rekan – rekan sekalian akan merasa sangat sejuk dengan tulisan2 itu daripada membaca tulisan lain yang kurang seimbang dalam menyajikannya.

    Anda ingin lebih sejuk lagi, bisa lho dengerin langsung audio dari santri yang dulu mondok di pesantren tambak beras jombang, kepunyaannya pamannya gusdur, dan beliau juga sempat menjadi tukang nuntun gusdur ketika di jombang,… dan untuk tahlilan, beliau menjadi santri yang terbaik dalam melakukan tahlilan, jadi hizbut tahlil, olih akeh berkate,… bisa didengarkan disini mas, monggo…

    http://audiodakwah.wordpress.com/2010/10/27/kronologis-mendapatkan-hidayah/
    http://audiodakwah.wordpress.com/2010/10/27/alumni-tambak-beras-dan-keluar-dari-nu/
    ditambah shalawat barjanji disini mas,
    http://audiodakwah.wordpress.com/2010/10/27/mau-tahu-arti-shalawat-nariyah/

    Pemilik blog ini malah terlihat terlalu fanatik dan di jaman Rasulullah juga dakwahnya tidak pake blog semacam ini.

    Saya hanya fanatik sama hadits yang shahih aja mas,… walaupun yang mengatakan tokoh ormas, pendiri ormas, atau keputusan ormas tertentu, jika menyalahi ajaran Rasulullah, ya saya tolak mas,..ini bukan fanatik namanya mas,… kalau fanatik itu justru percaya saja tanpa memperdulikan dalilnya, apakah shahih atau tidak, justru saya ittiba’ mas, mengikuti dalil yang shahih saja,… hendaknya mas mempelajari dulu, apa arti fanatik itu,..

    Oh iya, kalau dijaman Rasulullah ada internet, ada handphone, tentu itu bagus buat menunjang dakwah,
    Akan tetapi perlu dicatat dengan baik-baik mas, secanggih-canggihnya jaman kita, tidak akan pernah mengalahkan dakwah yang ada dijaman Rasulullah,… jaman para sahabat,…. kalau sekarang yang pinter adalah komputer, mampu menyimpan berjuta hadits, seluruh alquran, sehingga kalau kita memerlukan tinggal buka saja dengan cepat, kalau jaman Rasulullah, hadits dan alquran itu ada di hafalan2 mereka yang sungguh luar biasa, para sahabat sungguh kuat daya hafalnya, tidak memerlukan alat perekam, tidak ada bandingannya mas dibanding jaman sekarang yang sudah ada segala macam teknologi,…

    Kalau orang memahami agama secara fiqh saja, ya jadinya seperti ini, kaku dan keras yang bisa membuat umat manusia menjadi takut pada Islam. Kalau pemilik blog ini mempelajari sejarah, Insya Allah, saya yakin, pandangan tentang haramnya tahlilan pasti akan berubah 180 derajad.

    Banyak kaum muslimin yang tersadar dengan dakwah Rasulullah yang diajarkan kepada para sahabatnya, 3 generasi terbaik umat ini,… dan banyak kaum muslimin yang tersadarkan sehingga menjadi kaum muslimin yang mau mendalami agama ini, tidak hanya bergantung kepada tradisi masyarakat yang ada, kebudayaan,… ataupun mengikuti ormas-ormas islam tertentu,.. kaum muslimin bersatu diatas akidah yang satu, bukan atas organisasi yang satu,..walhamdulillah,..

    Justru, kalau anda mempelajari sejarah sampainya islam di indonesia, maka anda beserta orang-orang yang masih dapat menggunakan akal sehatnya, akan meninggalkan ritual-ritual tahlilan, bahkan ritual-ritual yang lainnya juga seperti maulid nabi, peringatan sekian hari meninggalnya seseorang,dan lain-lain, sebagaimana saudara-saudara anda yang dari nahdiyin yang akhirnya mendapat hidayah dakwah salafi, walhamdulillah,

    Sudahkah anda melihat dialog antara salafi dengan NU? yaitu dialog antara bpk said agil munawar dengan ustadz zainal abidin? Jika anda telah menonton vcdnya, maka jika anda mengetahui kebenaran, anda bisa mengambil keputusan sendiri,… kalau bagi saya pribadi setelah melihat vcd tersebut, ya doktornya aja seperti itu, ya gimana yang dibawah beliau,..

    Semoga hidayah Allah SWT segera sampai kepada rekan – rekan sekalian. Amin … Amin … Amin … Ya Rabbal Alamin.

    Semoga hidayah taufik diberikan kepada saya, juga rekan-rekan pembaca semua, juga yang menulis komentar ini, saudara Fanani,… amiin…

  6. dihyah
    Januari 3, 2011 pukul 12:56 pm | #6

    “Tunjukin ke ane bhw para ahli sihir firaun bertaubat dg mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH”

    Jawab :
    Coba akhi lihat surat Al A’raaf : 120-122
    وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ 120
    Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud
    قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ 121
    Mereka berkata: “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam
    رَبِّ مُوسَى وَهَارُونَ122
    “(yaitu) Tuhan Musa dan Harun.”

    “Bagaimana kalimat ajakan Musa kpd firaun?”

    Jawab : Lihat surat Thaha ayat 47
    فَأْتِيَاهُ فَقُولا إِنَّا رَسُولا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلا تُعَذِّبْهُمْ قَدْ جِئْنَاكَ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكَ وَالسَّلامُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى
    Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.

    Apakah mengakui Rububiyah Allah Ta’ala brarti sudah menjalankan juga uluhiyah Allah Ta’ala??? Tidak ya akhi, contoh paling nyata adalah kaum musyrikin quraisy yg berulangkali Allah Ta’ala sebutkan di dalam Qur’an bahwa mereka mengakui yg menciptakan alam ini adalah Allah, tp mereka menolak untuk beribadah kepadanya. Andaikan ada seorang muallaf bersyahadat untuk masuk Islam, apakah dengan serta merta berarti ia sudah melaksanakan uluhiyah Allah??? Pikirkanlah saudaraku.

    Wallahu a’lam bishowab.

    Jazakallahu khairan akhi, mudah-mudahan bisa memberikan pencerahan bagi saya, juga bagi yang bertanya,..

  7. murid habib munzir
    Januari 3, 2011 pukul 9:30 am | #7

    Memang banyak pemahaman saudara-saudara kita muslimin yang perlu diluruskan tentang tawassul, tawassul adalah berdoa kepada Allah dengan perantara amal shalih, orang shalih, malaikat, atau orang-orang mukmin.

    mas, baca yang ini mas, memang kata pak habib tawassul kepada orang shalih, malaikat dibolehkan??

    Dalam berdoa kepada Allah, kita tidak perlu melalui perantara, karena hal itu termasuk perbuatan syirik.

    Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan mereka (kaum musyrikin) beribadah kepada selain Allah sesuatu yang tidak sanggup mendatangkan madharat dan manfaat untuk mereka.

    Dan mereka beralasan, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah’” (QS. Yunus : 18).

    Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong mengatakan, ‘Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka, melainkan hanya supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’ ” (QS. Az-Zumar : 3).

    Dalam dua ayat ini Allah menjelaskan kepada kita tentang alasan yang diajukan oleh kaum musyrikin untuk mendukung kesyirikan mereka.

    Mereka berkata bahwa mereka memiliki niat yang baik.

    Mereka hanya ingin menjadikan orang-orang shalih yang sudah meninggal sebagai perantara doa mereka kepada Allah.

    Mereka menganggap bahwa diri mereka penuh dengan dosa, sehingga tidak pantas untuk langsung berdoa kepada Allah.

    Sedangkan orang-orang shalih memiliki keutamaan di sisi Allah.

    Mereka ingin agar semakin dekat dengan Allah dengan perantaraan orang-orang shalih itu.

    Tidak ada yang mencela niat baik ini.

    Akan tetapi, lihatlah cara yang mereka tempuh.

    Mereka meminta syafaat kepada orang-orang yang sudah meninggal.

    Padahal Allah Ta’ala sudah menegaskan yang artinya, “Katakanlah, ‘Semua syafaat itu pada hakikatnya adalah milik Allah’ “ (QS. Az-Zumar : 44).

    Dan meminta kepada orang yang sudah meninggal adalah termasuk perbuatan syirik akbar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Oleh karena itu, niat baik kaum musyrikin ini tidak bermanfaat sama sekali karena cara yang mereka tempuh adalah kesyirikan, perbuatan yang merupakan penghinaan kepada Allah Ta’ala.

    Tawassul merupakan hal yang sunnah, dan tak pernah ditentang oleh Rasul saw, tak pula oleh Ijma Sahabat radhiyallahuanhum, tak pula oleh Tabiin, dan bahkan para Ulama dan Imam-Imam besar Muhadditsin, mereka berdoa tanpa perantara atau dengan perantara, dan tak ada yang menentangnya, apalagi mengharamkannya, atau bahkan memusyrikkan orang yang mengamalkannya.

    Mas, tawassul yang seperti apa dulu, ada tawassul yang dibolehkan, dan ada tawassul yang terlarang, bahkan pelakunya termasuk melakukan perbuatan kesyirikan,..

    Tawassul, yang Terlarang dan yang Dibolehkan

    Tawassul atau mengambil perantara dalam beribadah kepada Allah dalam bentuk berdoa kepada orang yang sudah meninggal atau tidak hadir adalah bentuk kesyirikan.

    Namun, ada pula tawassul yang diperbolehkan, yaitu: (1) Menyebut nama-nama atau sifat-sifat Allah pada permulaan berdoa (dengan menyesuaikannya dengan permintaan yang dimohon, -ed) seperti mengatakan,”Yaa Ghafuur, ighfirlii” (“Wahai Yang Maha pengampun, ampunilah hamba”); (2) Meminta kepada orang shalih yang masih hidup dan bisa memahami permintaan agar mendoaakan kebaikan baginya, sebagaimana Khalifah Umar yang meminta tolong paman Nabi Al-’Abbas untuk berdo’a bagi kaum muslimin; (3) Menyebutkan amal shalih yang pernah dilakukannya sebagaimana kisah 3 orang yang terperangkap di dalam gua.

    Masih banyak hadits lain yang menjadi dalil tawassul adalah sunnah Rasul saw, sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim, Thabrani dan Ibn Hibban dalam shahihnya, bahwa ketika wafatnya Fathimah binti Asad (Bunda dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, dalam hadits itu disebutkan Rasul saw rebah/bersandar dikuburnya dan berdoa : Allah Yang Menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Hidup tak akan mati, ampunilah dosa Ibuku Fathimah binti Asad, dan bimbinglah hujjah nya (pertanyaan di kubur), dan luaskanlah atasnya kuburnya, Demi Nabi Mu dan Demi para Nabi sebelum ku, Sungguh Engkau Maha Pengasih dari semua pemilik sifat kasih sayang., jelas sudah dengan hadits ini pula bahwa Rasul saw bertawassul di kubur, kepada para Nabi yang telah wafat, untuk mendoakan Bibi beliau saw (Istri Abu Thalib).

    Mas, ada dimana hadits seperti itu mas, tolong sebutin dong rujukannya, trus tekt arabnya juga,

    Demikian pula tawassul Sayyidina Umar bin Khattab ra. Beliau berdoa meminta hujan kepada Allah : “Wahai Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami (saw) dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman beliau (saw) yang melihat beliau (saw), maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun. (Shahih Bukhari hadits no.963 dan hadits yang sama pada Shahih Bukhari hadits no.3508). Umar bin Khattab ra melakukannya, para sahabat tak menentangnya, demikian pula para Imam-Imam besar itu tak satupun mengharamkannya, apalagi mengatakan musyrik bagi yang mengamalkannya, hanyalah pendapat sekte sesat ini yang memusyrikkan orang yang bertawassul, padahal Rasul saw sendiri bertawassul. Apakah mereka memusyrikkan Rasul saw ? Dan Sayyidina Umar bin Khattab ra bertawassul, apakah mereka memusyrikkan Umar ?, Naudzubillah dari pemahaman sesat ini.

    Diatas adalah tawassul kepada paman nabi, bukan kepada nabi yang sudah meninggal, ini dibolehkan,…tidak musyrik, siapa yang mengatakan tawassulnya umar melalui paman nabi ini merupakan kesyirikan?? tolong sebutkan dimana pernyataan itu, sebutkan link-linknya, jika anda tidak berdusta,….. na’udzubillah dari perbuatan menuduh orang lain dengan apa-apa yang tidak diucapkannya

    Mengenai pendapat sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh pada orang yang masih hidup, maka entah dari mana pula mereka mengarang persyaratan tawassul itu, dan mereka mengatakan bahwa orang yang sudah mati tak akan dapat memberi manfaat lagi, pendapat yang jelas-jelas datang dari pemahaman yang sangat dangkal, dan pemikiran yang sangat buta terhadap kesucian tauhid.

    mas, anda ini lucu sekali, bukankah sudah mas contohkan perbuatan umar diatas???
    Kok anda seperti tidak membaca apa yang anda tuliskan?
    Umar bertawassul kepada paman nabi, dan paman nabi masih hidup,
    Kenapa umar tidak bertawassul kepada nabi yang sudah meninggal??
    Karena umar tahu, tawassul kepada orang mati itu dilarang oleh Rasulullah,
    Tidakkah anda berpikir??

    Jelas dan tanpa syak bahwa tak ada satu makhlukpun dapat memberi manfaat dan mudharrat terkecuali dengan izin Allah, lalu mereka mengatakan bahwa makhluk hidup bisa memberi manfaat, dan yang mati mustahil. Lalu di mana kesucian tauhid dalam keimanan mereka ? Tak ada perbedaan dari yang hidup dan yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah, yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah, dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila dikehendaki Allah. karena penafian kekuasaan Allah atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas.

    Mas, lucu sekali anda,.. tolong sebutkan contoh rasulullah atau para sahabat yang bertawassul kepada orang mati,. ..
    sebutkan rujukannya, dengan jelas, ada di kitab apa, hadits no. berapa, cantumin disini,.. juga derajat hadits tersebut,..
    Tidak akan pernah engkau dapati,…

    Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah swt, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah, yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi shalih, hidup atau mati tak membedakan Kudrat Ilahi atau membatasi kemampuan Allah, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah tetap abadi walau mereka telah wafat.

    Mas, yang ngakunya murid pak habib,…
    Tawassul kepada orang shalih, yang ia ada dihadapannya, itu diperbolehkan, akan tetapi tawassul kepada orang yang shalih, dan orang itu tidak ada di tempat, atau sudah meninggal, maka ini sesuatu yang terlarang, bahkan merupakan perbuatan kesyirikan,..
    Sungguh apa yang anda sampaikan ini mirip sekali seperti apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin sebagaimana Allah ceritakan di dalam alquran,
    Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan mereka (kaum musyrikin) beribadah kepada selain Allah sesuatu yang tidak sanggup mendatangkan madharat dan manfaat untuk mereka.
    Dan mereka beralasan, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah’” (QS. Yunus : 18).
    Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong mengatakan, ‘Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka, melainkan hanya supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’ ” (QS. Az-Zumar : 3).

    Contoh lebih mudah, anda ingin melamar pekerjaan, atau mengemis, lalu anda mendatangi seorang saudagar kaya, dan kebetulan mendiang tetangga anda yang telah wafat adalah abdi setianya yang selalu dipuji oleh si saudagar, lalu anda saat melamar pekerjaan atau mungkin mengemis pada saudagar itu, anda berkata : “Berilah saya tuan (atau) terimalah lamaran saya tuan, saya mohon, saya adalah tetangga dekat fulan, nah bukankah ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati? Bagaimana dengan pandangan bodoh yang mengatakan orang mati tak bisa memberi manfaat? Jelas-jelas saudagar akan sangat menghormati atau menerima lamaran pekerjaan anda, atau memberi anda uang lebih, karena anda menyebut nama orang yang ia cintai, walau sudah wafat, tapi kecintaan si saudagar akan terus selama saudagar itu masih hidup, pun seandainya ia tak memberi, namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan ar-Rahmaan ar-Rahiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Menyantuni? Dan tetangga anda yang telah wafat tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang lamaran anda pada si saudagar, NAMUN ANDA MENDAPAT MANFAAT BESAR DARI ORANG YANG TELAH WAFAT.

    Mas, pikirkanlah lagi,
    Allah itu disembah tidak memerlukan perantara, beda dengan orang yang mau melamar pekerjaan,
    Yang mengatakan seperti Allah langsung, kok anda berani menganalogikan seperti hal di atas, sungguh sangat lancang sekali,… apakah anda yang menganalogikan, atau guru anda, pak habib itu??
    Takutlah kepada Allah mas,…
    Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Berdoalah kepada-Ku, pasti akan Aku kabulkan” (QS. Al-Mu’min : 60).
    Tolong baca artikel ini

    Aduh…aduh… entah apa yang membuat pemikiran mereka sempit hingga tak mampu mengambil permisalan mudah seperti ini. Firman Allah : “MEREKA ITU TULI, BISU DAN BUTA DAN TAK MAU KEMBALI PADA KEBENARAN” (QS Albaqarah-18). Wahai Allah beri hidayah pada kaumku, sungguh mereka tak mengetahui.Wassalam.
    Mas, tolong baca artikel ini dengan seksama, baca disini http://aslibumiayu.wordpress.com/2011/01/03/apakah-allah-membutuhkan-perantara/

  8. riri
    Januari 3, 2011 pukul 8:49 am | #8

    Tunjukin ke ane bhw para ahli sihir firaun bertaubat dg mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH. Bagaimana kalimat ajakan Musa kpd firaun?

    Saudaraku, ini ayat-ayatnya, alhamdulillah ada yang ngasih tahu, baca ya?

    Coba akhi lihat surat Al A’raaf : 120-122
    وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ 120
    Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud
    قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ 121
    Mereka berkata: “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam
    رَبِّ مُوسَى وَهَارُونَ122
    “(yaitu) Tuhan Musa dan Harun.”

    “Bagaimana kalimat ajakan Musa kpd firaun?”

    Jawab : Lihat surat Thaha ayat 47
    فَأْتِيَاهُ فَقُولا إِنَّا رَسُولا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلا تُعَذِّبْهُمْ قَدْ جِئْنَاكَ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكَ وَالسَّلامُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى
    Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.

    Apakah mengakui Rububiyah Allah Ta’ala brarti sudah menjalankan juga uluhiyah Allah Ta’ala??? Tidak ya akhi, contoh paling nyata adalah kaum musyrikin quraisy yg berulangkali Allah Ta’ala sebutkan di dalam Qur’an bahwa mereka mengakui yg menciptakan alam ini adalah Allah, tp mereka menolak untuk beribadah kepadanya. Andaikan ada seorang muallaf bersyahadat untuk masuk Islam, apakah dengan serta merta berarti ia sudah melaksanakan uluhiyah Allah??? Pikirkanlah saudaraku.

    Wallahu a’lam bishowab.

  9. haris
    Desember 31, 2010 pukul 2:42 pm | #9

    Orang tawassul antum anggep batal tauhid uluhiyahnya, tinggal rububiyahnya.

    Jika kita telah mengenal tauhid uluhiyah dengan benar, tidak akan mungkin kita melakukan tawassul kepada hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syariat yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
    Kalau tauhid rububiyah, kaum musyrikin quraisy pun mengakuinya, tatapi apakah mereka telah masuk ke dalam islam?? tidak sama sekali, bahkan Rasulullah tetap memerangi mereka,..

    Terus antum samain kondisi kami dg musyrikin yg dlm pandangan antum bertauhid rububiyah tetapi tdk tauhid uluhiyah.

    Justru bukan hanya itu, kondisi kaum musyrikin dalam hal rububiyah dan uluhiyah, mereka lebih mengetahui..
    Kenapa mereka menolak tauhid uluhiyah?? karena mereka mengetahui resikonya, dan itu yang mereka tidak mau,.. mereka tidak mau melakukan ibadah hanya untuk Allah saja,.. mereka menganggap aneh jika menyembah Allah saja,.. namun dalam hal rububiyah, mereka menerimanya,.. tersebut dalam ayat-ayat alquran tentang mereka mengakui kerububiyahan Allah, tapi itu semua tidak memasukannya ke dalam islam.

    Jadi tauhid uluhiyah itu otomatis akan menghadirkan tauhid rububiyah, sedangkan tauhid rububiyah itu belum tentu menyertakan tauhid uluhiyah,..

    Jadi bg antum mengakui tauhid rububiyah tdk serta merta mengakui tauhid uluhiyah.

    Tidak serta merta tauhid rububiyah itu berarti mengakui tauhid uluhiyah, contohnya kaum musyrikin quraisy, apakah mereka tidak mengakui tauhid rububiyah??? mereka mengakui, bahkan mungkin mereka lebih tahu konsekwensi dari tauhid tersebut daripada kebanyakan kaum muslimin yang masih awam,

    Padahal dg 2 ayat saja, sudah cukup untuk membathalkan pemahaman dmkn. Mengakui rububiyah Allah dg hati, lisan dan perbuatan, berarti juga mengakui uluhiyah Allah. Ga bisa dipisah2.

    Ayat yang mana? tolong sebutkan ayatnya, juga tafsir tentang ayat tersebut,..

    Tunjukin ke ane bhw para ahli sihir firaun bertaubat dg mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH. Bagaimana kalimat ajakan Musa kpd firaun?

    Semua Rasul diutus untuk mendakwahkan dakwah tauhid,… bukan yang lainnya… Dari nabi Nuh hingga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,.. termasuk dalam hal ini nabi musa,….
    Beliau mengajak kepada firaun kepada tauhid, … demikian juga para ahli sihir firaun, setelah mereka menyaksikan mukjizat nabi Musa,… mereka beriman kepada Allah, sehingga mereka disiksa dan dibunuh oleh firaun karena keimanan mereka tersebut,…
    Apakah tidak cukup dengan disiksanya tukang sihir itu oleh firaun, karena beriman kepada apa yang dibawa oleh nabi Musa???
    Hanya orang yang berakallah yang bisa mengambil pelajaran,… wallahu’alam…

  10. tommi
    Desember 30, 2010 pukul 3:38 am | #10

    Dari Sa’id bin Al-Musayyib (seorang Tabi’in yang mulia),
    Sungguh beliau melihat seorang yang melakukan sholat setelah terbit fajar lebih dari dua raka’at.
    Orang tersebut membanyakan ruku’ dan sujud pada kedua roka’at tersebut (padahal yang Sunnah melakukan Sholat Sunnat Fajar tidak lebih dari dua raka’at dengan ringan /bacaan suratnya pendek).

    Maka beliau melarangnya.

    Maka orang tersebut berkata: “ Wahai Abu Muhammad (Sa’id bin Al-Musayyib) ! Apakah Allah akan mengazabku karena Sholat?”,

    maka beliau berkata:”Tidak ! akan tetapi Allah akan mengazabmu atas penyelisihanmu terhadap sunnah.”

    Jazakallahu khairan atas hadits yang antum nukilkan, mudah-mudahan bisa memberi pencerahan kepada kaum muslimin yang masih mengamalkan ajaran yang tidak ada contohnya sama sekali dari Rasulullah,

  11. A. Rosyad
    Desember 27, 2010 pukul 4:24 pm | #11

    Apakah Allah subhanahu wata’ala dan Rosul_NYa melarang kita untuk berdoa, baca yasin, Sholawat dan Alfatihah (tahlil) ? jawabnya : TIDAK .
    Mengapa Anda mengatakan Haram, apakah anda lebih hebat dari pada ALLAh subhanahu wata’ala dan Rosul_NYA.???

    Saya balik bertanya, siapa yang melarang kita untuk berdoa, baca yasin, Sholawat dan Alfatihah (tahlil) ?
    Dibaris manakah pernyataan saya melarang hal diatas??

    Biar lebih arif tlong pelajari ” bid ah menurut Faham ahlussunnah wal jamaah”
    biar kita tidak pernah salah presepsi…..

    Seharusnya anda lebih jeli lagi membacanya, jangan sepotong-sepotong,.. biar anda tidak salah persepsi,…

    Kita ambil sebuah contoh, Jika ada orang yang melakukan shalat maghrib 5 rakaat, kemudian ada orang yang melarang, lalu orang tersebut berdalih, kok anda melarang shalat maghrib?
    Bukankah Allah memerintahkan shalat maghrib??

    Apa kira-kira jawaban anda terhadap kasus diatas?
    Kira-kira apa jawabannya?
    Apakah anda akan membetulkan orang yang melarang shalat maghrib 5 rakaat, ataukah anda akan membela orang yang melakukan shalat maghrib 5 rakaat?

    Tentu jawabannya, orang yang melakukan shalat maghrib 5 rakaat itu telah menyalahi ajaran Rasulullah, karena Rasulullah tidak mencontohkan shalat magrib dengan jumlah 5 rakaat,

    Demikian juga tentang berdoa, baca yasin, Sholawat dan Alfatihah (tahlil) , jika tata cara membacanya tidak mengikuti ajaran Rasulullah, maka ini merupakan sebuah kemungkaran, bukan ibadah, bahkan akan mendapatkan dosa pelakunya,. seperti berdoa kepada kuburan, membaca alquran di kuburan, baca yasin setelah kematian, baca tahlil atau alfatihah setelah kematian, di 7hari, dst… ini semua menyelisihi ajaran Rasulullah yang mulia,..

  12. Fahmi
    Desember 23, 2010 pukul 4:52 am | #12

    Saya suka dengan artkel anda,

    Alhamdulillah, Jazakallahu khairan,..

  13. mahmud
    Desember 15, 2010 pukul 2:18 pm | #13

    tad bukannya tahlilan itu mendo’akan mayit dan megirim hadiah pahala pada mayit,,, apa itu juga ga boleh

    jika tahlil itu ucapan laa ilaaha illallah, maka itu adalah dzikir yang agung, akan tetapi jika tahlilan,maka ini adalah sebuah ritual yang mungkin didalamnya ada ucapan tahlil, akan tetapi dilaksanakan tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah, sehingga amalan tersebut menyelisihi ajaran Rasulullah yang mulia. Jadi tahlilan seperti itu bukanlah mendatangkan pahala, bahkan amalan tersebut tidak diterima, dan pelakunya akan mendapatkan dosa, karena ritual tersebut merupakan perbuatan bidah,..

    Mengirim pahala bagi mayit, saya nukilkan pendapat para ulama:
    Adapun mempuasakan si mayit, shalat sunnah diniatkan untuknya dan membacakan Al Qur’an untuknya, permasalahan ini terdapat perselisihan di antara para ulama.

    Pendapat pertama: amalan-amalan tadi bermanfaat untuk mayit. Inilah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Syafi’iyah dan selainnya.

    Pendapat kedua: pahala amalan tersebut tidak sampai kepada mayit. Inilah pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i.
    Anehnya orang-orang yang gemar mengirim pahala kepada si mayit kebanyakan ngakunya pengikut madzhab Imam Syafi’i, padahal Imam Syafi’i berpendapat bahwa pahala bacaan itu tidak sampai kepada si mayat, agak lucu sekali memang kebanyakan orang-orang yang ngaku madzhabnya imam syafi’i, tetapi menyelisihi pendapat Imam Syafii sendiri,..

    Jadi yang mengatakan tidak boleh itu bukan saya, Akan tetapi Rasulullah tidak pernah memerintahkan hal seperti diatas, para sahabat juga tidak melakukannya, padahal mereka dibina oleh Rasulullah secara langsung,

    • mahmud
      Desember 16, 2010 pukul 2:56 pm | #14

      jadi menurut ustad hadiah pahala itu boleh ga

      Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:
      “Artinya : Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya.” [An-Najm: 53]

      Beliau berkata:
      “Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseo-rang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang yang mengikuti beliau ber-istinbat (mengambil dalil) bahwasanya pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat dihadiahkan kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka.

      Tentang (mengirimkan pahala bacaan kepada mayyit) tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-nyunnahkan ummatnya, tidak pernah mengajarkan ke-pada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula ada seorang Shahabatpun yang melakukan demikian. Seandainya masalah membaca al-Qur-an di pemakaman dan menghadiahkan pahala bacaannya baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu. Tentang bab amal-amal Qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) hanya diboleh-kan berdasarkan nash (dalil/contoh) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat.”

      Periksa: Tafsir Ibni Katsir (VI/33), cet. Darus Salam dan Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. Maktabah al-Ma’arif.

      Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/369).

      Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. maktabah al-Ma’arif th. 1412 H.

      Allah berfirman tentang al-Qur’-an:

      “Artinya : Supaya ia (al-Qur-an) memberi peringatan kepada orang yang HIDUP…” [Yaasiin: 70]

      Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci.” [Muhammad: 24]

      Yang wajib juga diperhatikan oleh seorang Muslim adalah, tidak boleh beribadah di sisi kubur dengan melakukan shalat, berdo’a, menyembelih binatang, bernadzar atau membaca al-Qur-an dan ibadah lainnya. Tidak ada satupun keterangan yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya bahwa mereka melakukan ibadah di sisi kubur. Bahkan, ancaman yang keraslah bagi orang yang beribadah di sisi kubur orang yang shalih, apakah dia wali atau Nabi, terlebih lagi dia bukan seorang yang shalih.

      Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras terhadap orang yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

      “Artinya : Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani (karena) mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.”

      Tidak ada satu pun kuburan di muka bumi ini yang mengandung keramat dan barakah, sehingga orang yang sengaja menuju kesana untuk mencari keramat dan ba-rakah, mereka telah jatuh dalam perbuatan bid’ah dan syirik. Dalam Islam, tidak dibenarkan sengaja mengada-kan safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat mencari keramat dan barakah dan mengadakan ibadah di sana. Hal ini dilarang dan tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah dan sarana yang menjurus kepada kesyirikan.

      Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
      “Artinya : Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tuju-an beribadah) kecuali ketiga masjid, yaitu Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.”

      Adapun adab ziarah kubur, kaum Muslimin dianjur-kan ziarah ke pemakaman kaum Muslimin dengan me-ngucapkan salam dan mendo’akan agar dosa-dosa mereka diampuni dan diberikan rahmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
      Wallaahu a’lam bish shawab.

      [Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]

  14. muhammad
    Desember 12, 2010 pukul 10:36 am | #15

    tad kalo tahlilannya ga pake hidangan makanan boleh ga

    Tetap nggak boleh, yang dilarang itu bukan karena ada hidangannya, justru intinya itu adalah cara-cara tahlilan yang tidak pernah dicontohkan sama sekali oleh Rasulullah, atau para sahabat,… jadi bukan karena hidangannya saja,.. wallahu’alam…

  15. ali
    Desember 2, 2010 pukul 2:25 pm | #16

    mas,, kalo masalah tawassul ada artikelnya ga???

    Alhamdulillah, atas komentar mas, saya nukilkan apa yang dicari oleh anda mas, bisa dilihat disini, baru sedikit, nanti Insya Allah akan ditambah,…
    Jazakallahu khairan telah berkunjung…

  16. doni
    November 27, 2010 pukul 3:57 pm | #17

    tadz, boleh nanya masalah lafazh niat ga

    Alhamdulillah, sudah saya postingkan tentang masalah ini, mudah-mudahan bisa bermanfaat buat anda, dan kaum muslimin lainnya,..
    Jazakallahu khairan atas pertanyaan anda yang sangat berharga ini,..
    Bisa dilihat disini

  17. FANDO
    November 18, 2010 pukul 6:10 pm | #18

    Alhamdulillah…
    lama saya cari penjelasan tentang masalah ini, sebetulnya saya sudah tau dari kecil akan tetapi apabila ditanya belom bisa menjawab dengan komplit.
    InsyAllah artikel anda akan lebih berguna utk saya, dan semuanya.
    Amin…

    Mudah-mudahan semakin banyak yang mengamalkan ajaran yang berdasarkan dalil yang shahih datang dari Rasulullah, bukan sekedar ikut-ikutan kepada tradisi masyarakat, atau tradisi ustadznya, gurunya, kyainya,… yang ternyata semuanya itu bertentangan dengan perintah Rasulullah,…

    Sudah saatnya menjai pemeluk islam yang ilmiyah, tidak sekedar taklid buta,…

  18. marselo salas
    November 14, 2010 pukul 12:46 pm | #19

    selagi kegiatan itu baik saya kira no probleem.. tahlil ??? baik…
    yah kalau anda pengine mati mung dikurug lemah tok ya wiss jangan di ikutii,, tapi kalop pengin di doakan ya alhamdulillah.. hidup tahlillan..

    mas, jika tahlil itu adalah ucapan laa ilaaha illallah, itu adalah baik, itu dzikir yang paling utama, dan besar pahalanya disisi Allah, tapi perlu di ingat, itu jika dilakukan sesuai dengan contoh Rasulullah,

    sedangkan jika “tahlilan” yaitu ritual ngumpul-ngumpul lalu mengucapkan kalimat tahlil bersama-sama, dalam moment-moment tertentu, ini adalah sama sekali bukan ajaran islam, bukan ajaran Rasulullah, lalu ajaran siapa?
    itu ajaran yang dibuat oleh orang-orang yang bodoh terhadap ajaran Rasulullah yang mulia,…
    Wong ajaran-ajaran Rasulullah saja belum kita laksanakan semua, kok sempat-sempatnya mengamalkan ajaran yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah,….

    kenapa itu terjadi??
    karena kebanyakan umat islam tidak mau mendalami agama ini,
    mereka mencukupkan dengan pendidikan yang didapat di TK.SD, atau sekolah setelahnya, juga kondisi lingkungan masyarakat yang memang melakukan amalan yang tidak ada contohnya,
    berislam dengan ajaran nenek moyang, dengan adat kebiasaan, bukan dengan ajaran yang benar-benar Rasulullah ajarkan,..

    orang yang tahlilan, hanyalah bermodal taklid kepada kyiai atau gurunya saja,… bukan berdasarkan dalil yang shahih dari Rasulullah..
    dan mungkin yang lebih aneh, hanya di indonesia aja yang ada ritual tahlilan ini…. wallahu’alam..

  19. Akh.Sunarto
    November 13, 2010 pukul 3:50 am | #20

    Assalamualaikum,wr wb
    Akhi Maulana Mufti,salam ta’aruf dari ana di tangerang-Banten.bumiayu dengan slawi tidak terlalu jauh tentunya,bila dibandingan dengan tangerang yang ditempuh kurang lebih 7-8 jam.Tapi Akhi membuatnya lebih dekat dengan blognya.Tentunya, ana menukil dari ucapan imam syafii “Siapa yang kenal sejarah berpotensi meningkatkan kesadarannya”,sadar bahwa ana masih dha’if dalam thalabil ilmi blog akhi memberikan isi dan warna bagi yang dahaga ilmu – ilmu syar’i.

    Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
    salam ta’aruf juga akhi sunarto,
    kenapa saya beri nama aslibumiayu, bukan karena saya panatik, atau mencintai daerah kelahiran, bukan itu maksudnya, karena tidak ada ajaran dalam islam ini untuk mencintai daerah kelahiran, atau cinta suku bangsa, atau cinta tanah air, namun nama itu hanyalah agar mudah dikenal dan gampang dicari,..
    Salah satu pendorong saja, dan sekedar apa yah istilahnya, cara gampangnya adalah ada juga ternyata orang bumiayu yang membuat blog di dunia maya ini, yang berbeda dengan blog2 lainnya…

    Saya mencintai daerah yang mana disitu bisa menimba ilmu,bisa menambah wawasan agama yang hak ini, dengan pemahaman para sahabat, jadi saya tidak mencintai daerah karena itu daerah kelahiran saya,.. namun saya tentu merasa senang sekali jika di daerah saya banyak tempat2 tuk menimba ilmu syar’i yang benar, sesuai dengan pengamalan para sahabat,dan salah satu contoh ulama yang sangat gencar mendakwahkan dakwah rasulullah menurut pemahaman para sahabat di antaranya adalah Imam Syafi’i ..

    Dan blog ana, tidaklah ada apa2nya dibandingkan dengan blog2 ikhwah yang lainnya, karena saya hanya menukil saja dari blog dan website mereka,…

  20. TBM Abu Bakar Ash-Shiddiq Dampyak Tegal
    November 11, 2010 pukul 5:38 am | #21

    Na’am. Itulah pentingnya dakwah Islam secara Murni

  21. TBM Abu Bakar Ash-Shiddiq Dampyak Tegal
    November 11, 2010 pukul 5:36 am | #22

    Syukron, Ilmunya. Semoga kita bisa mengambil faedahnya.

  22. November 7, 2010 pukul 2:52 am | #23

    Really interesting idea for me . Will you post some more ? coz i want to follow ur twitter or facebook

    Insya Allah, I will post more articles

  23. Na’im
    Oktober 23, 2010 pukul 3:35 am | #24

    Namun ana tasa’um/pesimis kaum asya’iroh meresapi ini.
    Sebab selimut mereka bukan lagi keikhlasan dalam ber’ilmu dan mengamalkan, tapi Ego.
    Yaa Asy’ariyyin, afalaa ta’qiluun..

    Hidayah ada ditangan Allah, barangkali saja ada yang terbuka hatinya setelah membaca artikel ini, siapa tahu….

  24. Sang Penjelajah Malam
    Oktober 23, 2010 pukul 3:32 am | #25

    Panjang banget artikelnya

    Memang perlu penjelasan panjang, kan biar komplit, plit…. biar tidak dikira nyatut sana nyatut sini….

    Biar jelas juga,… bacanya pelan-pelan ya,…