TANGAN DI ATAS DADA : SIFAT SHALAT WAHABI = SIFAT IBADAH YAHUDI (TALMUD)
Wahabi akan memukul sesiapa yang solat tidak meletakkan kedua tangannya di atas dada. Wahabi juga mewajibkan letak dua belah tangan di atas dada dan bagi mereka sesiapa yang tidak melakukan sedemikian maka solatnya tak sah batal. Sama juga dengan cara ‘solat’ Yahudi. Yahudi meletakkan kedua belah tangan mereka di atas dada dan mendakwa sesiapa yang tidak buat demikian maka ‘solat’nya tidak sah batal!. Wahabi agen Yahudi. Sila lihat buktinya dari awal hingga akhir mereka (wahabi-yahudi) banyak persamaan sebab itu mereka tidak menyerang orang kafir & yahudi tetapi menyerang serta membunuh ulama Islam sahaja.
Di bawah ini Yahudi KAFIR mengajar kita cara ‘solat’ sebenar mereka seperti yang mereka dakwa iaitu meletakkan dua belah tangan di atas dada
Ini pula Yahudi ajar dalam ‘solat’ boleh jalan-jalan gerak2 banyak kali no problem
Ini pula geng2 Wahabi (ularbodo) yang masuk UMNO nak rosakkan UMNO dari dalam ajar orang solat mesti letak dua tangan atas dada dan banyak dalam kitab-kitab ajaran agama Wahabi mewajibkan letakan tangan di atas dada same lika Yahudi Zionis. Begitu juga boleh bersiar2 makan angin berjalan2 ketika solat mcm Yahudi di atas boleh jalan dalam ‘solat’nya.
Yang ini pula cara ‘solat’ Yahudi yang paling ‘best’ boleh baring-baring main tekap2 muka kat lantai
full video shalat yahudi = solat wahabi (2 tangan diatas rusuk dada)
Tangan dibawah dada bukan di atas dada !
- Menngenai posisi kedua tangan (bersedekap) setelah takbir (pada waktu berdiri), Berkata Alhafidh Imam Nawawi : “Meletakkannya dibawah dadanya dan diatas pusarnya, inilah madzhab kita yg masyhur, dan demikianlah pendapat Jumhur (terbanyak), dalam pendapat Hanafi dan beberapa imam lainnya adalah menaruh kedua tangan dibawah pusar, menurut Imam Malik boleh memilih antara menaruh kedua tangan dibawah dadanya atau melepaskannya kebawah dan ini pendapat Jumhur dalam mazhabnya dan yg masyhur pada mereka” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 4 hal 114)..
Dari penjelasan ini fahamlah kita bahwa pendapat yg Jumhur (kesepakatan terbanyak dari seluruh Imam dan Muhaddits) adalah menaruh kedua tangan diantara dada dan pusar, walaupun riwayat yg mengatakan diatas dada itu shahih, namun pendapat Ibn Mundzir “bahwa hal itu tak ada kejelasan yg nyata, bahwa Nabi saw menaruh kedua tangannya diatas dada, maka orang boleh memilih” (Aunul Ma’bud Juz 2 hal 323.
mereka itu kebanyakan tidak bermadzhab, entah kemana arahnya, mengikuti pendapat2 yg tak bersanad, cuma nukil
nukil di buku hadits lalu berfatwa,
berkata Imam Nawawi bahwa pendapat yg paling shahih dan merupakan Jumhur (terbanyak dari para Imam), adalah
menaruh tangannya dibawah dadanya, dan diatas pusarnya,
dan pada Madzhab Imam Malik (maliki) melepaskan tangan kebawah seperti orang berdiri. (Ibanatul Ahkam bisyarah
Bulughil maram Juz 1 hal 398).
berikut linknya:
Adapun kitab “sifat shalat nabi” yg ditulis Syaikh nashiruddin Albani adalah kitab yg mengajarkan kesesatan!. Dalam buku ini Albany mengajarkan satu lagi kesesatan dalam cara shalat yaitu “tangan bersedekap diatas dada (lihat gambar diatas) ”. Sungguh ini adalah perkataan2 yng menyelisihi imam 4 madzab Ahlusunnah!. Baca artikel saya ttg “Kesesatan Syaikh nashiruddin Albani “.
KENYATAAN IMAM NAWAWI AL-BANTANI DI DALAM KITAB NIHAYAH AL-ZAIN-LETAK TANGAN BAWAH DADA !!!
MELETAKKAN TANGAN DI BAWAH DADA DAN DI ATAS PUSATNYA, DENGAN CONDONG SEDIKIT KE SEBELAH KIRI.BUKAN SEBAGAI MANA YANG DI PROMOSIKAN OLEH SET-SET WAHABI YANG KATANYA DI BAWAH DAGU ATAS DADA TIDAK TAQLID.RUPA-RUPANYA TAQLID JUGA MEREKA INI DENGAN PAK ALBANI.SEMUA YANG ALBANI KATA BETUL BELAKA.TAK TAASSUB KER TU??
MENGHINA TAQLID…BERERTI MENGHINA DIRI SENDIRI !!!
LAGI BAHAN BUKTI MELETAK TANGAN BUKAN ATAS DADA SELEPAS TAKBIR
KITAB I’ANAH AL-TALIBIN JUGA MENYATAKAN “…MELETAKKAN TANGAN DI BAWAH DADA ,DI ATAS PUSAT ADALAH ITTIBA’ (MENGIKUT SUNNAH NABI)
YANG DIMAKSUDKAN DENGAN DI BAWAH DADA DAN DIATAS PUSAT IALAH CONDONG KE SEBALAH KIRI, KERANA HATI ITU BERADA DI BAHAGIAN KRI.INI DIRIWAYAT DARI IBNU HUZAIMAH DIDALAM SAHIHNYA DARIPADA WAIL IBN HUJR YANG MENYATAKAN ” AKU BERSALAT BERSAMA NABI S.A.W , MAKA NABI S.A.W MELETAKKAN TANGAN KANAN DI ATAS TANGAN KIRI DI BAWAH DADANYA.
LAGI BAHAN BUKTI MELETAK TANGAN BUKAN ATAS DADA SELEPAS TAKBIR
MASAALAH MELETAK TANGAN SELEPAS TAKBIRATULIHRAM -KITAB MAZHAB 4 -AL-JUZAIRI
IMAM MALIK : MELETAKKAN TANGAN DI ATAS PUSAT DAN DIBAWAH DADA.
IMAM HANAFI : MELETAKKAN TANGAN DI BAWAH PUSAT.
IMAMA HAMBALI : MELETAKKAN TANGAN DI BAWAH PUSAT.
IMAM SYAF’E : MELETAKKAN TANGAN DI ATAS PUSAT DAN DIBAWAH DADA.INI LAH PENDAPAT 4 MAZHAB DALAM MASAALAH MELETAKKAN TANGAN SELEPAS TAKBIR DIDALAM SEMBAHYANG.
PENDAPAT YANG MENGATAKAN MELETAKKAN TANGAN DI BAWAH DAGU ,DI ATAS DADA TIADA PENDAPAT MAZHAB YANG MENGATAKAN BEGITU MELAINKAN KEPALA WAHABI ,NASIRUDDIN AL-ALBANI.
AWAS !!!
LAGI CONTOH BUKU SEMBAHYANG WAHABI YANG PATUT DIJAUHI..
DALAM GAMBAR DIATAS MEREKA MENGANJURKAN SALAT DENGAN MELETAKKAN TANGAN DIATAS DADA.SEMENTARA GAMBAR YANG KE-2 MENYARANKAN SALAT DENGAN SUJUD DIATAS KAIN SERBANNYA, INI ADALAH MEMBATALKAN SALAT,KERANA SUJUD PADA SEBAGAIAN PAKAIN YANG BERGERAK BERSAMA PERGERAKKAN TUBUH ANGGUTA KITA.
RUJUK KITAB SEPERTI SABILALMUHTADIN,BUGHIAH DAN SEBAGAINYA.AWAS !!!
KITAB SAHIH SIFATUSSOLAH AN-NABIY
____________________________
___________________________________________________________________
Virus wahaby
Filed under: TANGAN DI ATAS DADA : SIFAT SHALAT WAHABI = SIFAT IBADAH YAHUDI (TALMUD) | Tagged: TANGAN DI ATAS DADA : SIFAT SHALAT WAHABI = SIFAT IBADAH YAHUDI (TALMUD) | Leave a Comment »
Sesama Wahabi Saling Menyesatkan : Syaikh Utsaimin Vs Syaikh Abdurrahman Damasyqiyyah
Sesama Wahabi Saling Menyesatkan
Lihat, dalam situs resmi salah seorang pendakwah ajaran sesat Wahabi, bernama Abdurrahman Damasyqiyyah, berkata:
“Saya katakan bahwa boleh untuk kaum perempuan untuk ziarah kubur dengan dasar hadits ini……”
Sementara pemuka Wahabi lainnya, Ibnu Utsaimin, dalam bukunya berjudul Fatawa Muhimmah, h. 149-150, cet. Riyad, berkata:
“Haram ziarah kubur bagi kaum perempuan, itu termasuk dari dosa besar, sekalipun yang diziarahi makam nabi (Muhammad)”.
Bukti bahwa dasar ajaran Wahabi “SEENAK PERUT”.
Filed under: Sesama Wahabi Saling Menyesatkan : Syaikh Utsaimin Vs Syaikh Abdurrahman Damasyqiyyah | Tagged: Sesama Wahabi Saling Menyesatkan : Syaikh Utsaimin Vs Syaikh Abdurrahman Damasyqiyyah | Leave a Comment »
Pembenci Rasulullah Terpanggang Di atas Qubbah Khadlra (Qubah Hijau Makam Rasulullah)
Dikutip dari Syekh az-Zabidi: “Para musuh Rasulullah setelah mereka selesai menghancurkan makam-makam mulia di komplek pemakaman al Baqi’; mereka pindah ke Qubah Rasulullah untuk menghancurkannya. Salah seorang dari mereka lalu naik ke puncak Qubah untuk mulai menghancurkannya, tapi kemudian Allah mengirimkan petir/api menyambar orang tersebut yang dengan hanya satu kali hantaman saja orang tersebut langsung mati hingga -raganya- menempel di atas Qubah mulia itu. Setelah itu tidak ada seorangpun yang mampu menurunkan mayat orang tersebut dari atas Qubah; selamanya. Lalu ada salah seorang yang sangat saleh dan bertakwa mimpi diberitahukan oleh Rasulullah bahwa tidak akan ada seorangpun yang mampu menurunkan mayat orang tersebut. Dari sini kemudian orang tersebut “dikuburkan” ditempatnya (di atas Qubah; dengan ditutupkan sesuatu di atasnya) supaya menjadi pelajaran”.
foto tahun 1427 H
Filed under: Pembenci Rasulullah Terpanggang Di atas Qubbah Khadlra (Qubah Hijau Makam Rasulullah) | Tagged: Pembenci Rasulullah Terpanggang Di atas Qubbah Khadlra (Qubah Hijau Makam Rasulullah) | Leave a Comment »
Bukti Wahabi Bersaudara Dengan Yahudi Dan Kaum Kafir Lainnya
Lihat, salah seorang pimpinan Wahabi, bernama Abdul Aziz al Ammar “ngaku” dirinya wakil menteri urusan Masjid; ngomong ngelantur seenak perutnya, dia ngomong: “Dalam syari’at kita tidak boleh mendoakan keburukan bagi orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir lainnya”.
heh..!! Syari’at siapa???? ya syari’at Wahabi….
lagi; omongannya ini menguatkan fatwa “guru besar” mereka: Ibnu Baz dan al Albani yang mengatakan bahwa orang-orang Palestina seharusnya meninggalankan negara mereka dan menyerahkannya kepada orang-orang Yahudi..
Hasbunallah Wa nI’mal Wakil…..!!!!
Filed under: Bukti Wahabi Bersaudara Dengan Yahudi Dan Kaum Kafir Lainnya | Tagged: Bukti Wahabi Bersaudara Dengan Yahudi Dan Kaum Kafir Lainnya | Leave a Comment »
www.forsansalaf.com : Perintah Talqin Mayit
Perintah Talqin Mayit
Telah umum dalam masyarakat kita, selesai jenazah dimakamkan salah seorang dari pihak keluarga mayit duduk disamping makam lalu mulai melafadzkan bacaan talqin[i] bagi mayit. Namun dewasa ini, ada satu kelompok yang mengklaim dirinya paling mengikuti al-Qur’an dan sunnah dengan pemahaman para sahabat dan tabi’in menyatakan bahwa talqin mayit adalah bid’ah karena tidak memiliki landasan dalam syari’at serta tidak bermanfaat bagi si mayit. Permasalahan semacam ini telah menjadi polemik dalam masyarakat, benarkah talqin mayit tidak memiliki landasan syari’at padahal telah dilakukan oleh para ulama’ pendahulu kita ?.
Oleh karena itu, kami akan membahas tentang dalil-dalil yang menjadi landasan talqin mayit agar bisa memberikan kejelasan pada masyarakat.
Dasar hukum talqin mayit
Salah satu dasar hukum mengenai talqin adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, imam Abi Dawud, dan imam An Nasai :
لقنوا موتاكم لا إله إلا الله
“Talqinilah orang-orang mati kalian dengan لا إله إلا الله “
Memang mayoritas ulama mengatakan bahwa yang dimaksud lafadz موتاكم dalam hadits diatas orang-orang yang hampir mati bukan orang-orang yang telah mati, sehingga hadits tersebut menggunakan arti majas (arti kiasan) bukan arti aslinya.
Akan tetapi, tidak salah juga jika kita artikan lafadz tersebut dengan arti aslinya yaitu orang yang telah mati. karena menurut kaidah bahasa arab, untuk mengarahkan suatu lafadz kepada makna majasnya diperlukan adanya qorinah (indikasi) baik berupa kata atau keadaan yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan perkataan tersebut adalah makna majasnya bukan makna aslinya. Sebagai contoh jika kita katakan “talqinillah mayit kalian sebelum matinya” maka kata-kata “sebelum matinya” merupakan qorinah yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan kata mayit dalam kalimat ini bukan makna aslinya (yaitu orang yang telah mati) tapi makna majasnya (orang yang hampir mati).
Sedangkan dalam hadits tersebut tidak diketemukan Qorinah untuk mengarahkan lafadz موتاكم kepada makna majasnya, maka sah saja jika kita mengartikannya dengan makna aslinya yaitu orang-orang yang telah mati bukan makna majasnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh sebagian ulama seperti Imam Ath Thobary, Ibnul Humam, Asy Syaukany, dan Ulama lainya.
Selain hadits di atas, masih ada hadits lain yang menunjukkan kesunahan mentalqini mayit setelah dikuburkan, yaitu :
إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا”، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:”فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ. رواه الطبراني
“Jika salah satu diantara kalian mati, maka ratakanlah tanah pada kuburnya (kuburkanlah). Hendaklah salah satu dari kalian berdiri di pinggir kuburnya dan hendaklah berkata : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia bisa mendengarnya tapi tidak bisa menjawabnya. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia akan duduk. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia akan berkata : “berilah kami petunjuk –semoga Allah merahmatimu-“ dan kalian tidak akan merasakannya. Kemudian hendaklah berkata : “ sebutlah sesuatu yang kamu bawa keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah SWT, Muhammad hamba dan utusan Nya, dan sesungguhnya kamu ridlo Allah menjadi Tuhanmu, Muhammad menjadi Nabimu, dan Al Quran menjadi imammu”, sebab Mungkar dan Nakir saling berpegangan tangan dan berkata : “mari kita pergi. Kita tidak akan duduk (menanyakan) di sisi orang yang telah ditalqini (dituntun) hujjahnya (jawabannya), maka Allah menjadi hajiij (yang mengalahkan dengan menampakkan hujjah) baginya bukan Mungkar dan Nakir”. Kemudian seorang sahabat laki-laki bertanya : wahai Rasulullah ! Jika dia tidak tahu ibu si mayit ?Maka Rasulullah menjawab : nisbatkan kepada Hawa, wahai fulan bin Hawa” (H.R. Thabrani) (2).
Berdasarkan hadits ini ulama Syafi`iyah, sebagian besar ulama Hanbaliyah, dan sebagian ulama Hanafiyah serta Malikiyah menyatakan bahwa mentalqini mayit adalah mustahab (sunah)(3).
Hadits ini memang termasuk hadist yang dhaif (lemah), akan tetapi ulama sepakat bahwa hadits dhaif masih bisa dijadikan pegangan untuk menjelaskan mengenai fadloilul a`mal dan anjuran untuk beramal, selama tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat (hadits shohih dan hadits hasan lidzatih) dan juga tidak termasuk hadits yang matruk (ditinggalkan)(4). Jadi tidak mengapa kita mengamalkannya.
Selain itu, hadist ini juga diperkuat oleh hadist-hadits shohih seperti :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ وَقَالَ : اسْتَغْفِرُوا ؛ لِأَخِيكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ .
“Apabila Rasulullah SAW selesai menguburkan mayit, beliau berdiri di dekat kuburan dan berkata : mintalah kalian ampunan untuk saudara kalian dan mintalah untuknya keteguhan (dalam menjawab pertanyaan Mungkar dan Nakir) karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya” (H.R. Abu Daud dan dishahihkan oleh Hakim)(5).
Juga hadits yang diriwayatkan Imam Muslim r.a :
وعن عمرو بن العاص – رضي الله عنه – ، قَالَ : إِذَا دَفَنْتُمُونِي ، فَأقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ ، وَيُقَسَّمُ لَحمُهَا حَتَّى أَسْتَأنِسَ بِكُمْ ، وَأعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي . رواه مسلم
Diriwayatkan dari `Amr bin Al `Ash, beliau berkata : Apabila kalian menguburkanku, maka hendaklah kalian menetap di sekeliling kuburanku seukuran disembelihnya unta dan dibagi dagingnya sampai aku merasa terhibur dengan kalian dan saya mengetahui apa yang akan saya jawab apabila ditanya Mungkar dan Nakir(6).
Semua hadits ini menunjukkan bahwa talqin mayit memiliki dasar yang kuat. Juga menunjukkan bahwa mayit bisa mendengar apa yang dikatakan pentalqin dan merasa terhibur dengannya.
Salah satu ayat yang mendukung hadits di atas adalah firman Allah SWT :
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ [الذاريات/55]
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. “
Ayat ini memerintah kita untuk memberi peringatan secara mutlak tanpa mengkhususkan orang yang masih hidup. Karena mayit bisa mendengar perkataan pentalqin, maka talqin bisa juga dikatakan peringatan bagi mayit, sebab salah satu tujuannya adalah mengingatkan mayit kepada Allah agar bisa menjawab pertanyaan malaikat kubur dan memang mayit di dalam kuburnya sangat membutuhkan peringatan tersebut(7). Jadi ucapan pentalqin bukanlah ucapan sia-sia karena semua bentuk peringatan pasti bermanfaat bagi orang-orang mukmin.
Referensi
(1)شرح النووي على صحيح مسلم – (6 / 219(
1 ( كتاب الجنائز) 916 الجنازة مشتقة من جنز إذا ستر ذكره بن فارس وغيره والمضارع يجنز بكسر النون والجنازة بكسر الجيم وفتحها والكسر أفصح ويقال بالفتح للميت وبالكسر للنعش عليه ميت ويقال عكسه حكاه صاحب المطالع والجمع جنائز بالفتح لا غير قوله صلى الله عليه وسلم لقنوا موتاكم لا إله إلا الله معناه من حضره الموت والمراد ذكروه لا إله إلا الله لتكون آخر كلامه كما في الحديث من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة والأمر بهذا التلقين أمر ندب وأجمع العلماء على هذا التلقين وكرهوا الاكثار عليه والموالاة لئلا يضجر بضيق حاله وشدة كربه فيكره ذلك بقلبه ويتكلم بما لا يليق قالوا وإذا قاله مرة لا يكرر عليه إلا أن يتكلم بعده بكلام آخر فيعاد التعريض به ليكون آخر كلامه ويتضمن الحديث الحضور عند المحتضر لتذكيره وتأنيسه واغماض عينيه والقيام بحقوقه وهذا مجمع عليه قوله وحدثنا قتيبة حدثنا عبد العزيز الدراوردي وروح وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة أخبرنا خالد بن مخلد أخبرنا سليمان بن بلال جميعا بهذا الاسناد هكذا هو في جميع النسخ وهو صحيح قال أبو علي الغساني وغيره معناه عن عمارة بن غزية الذي سبق فيه الاسناد الأول ومعناه روى عنه الدراوردي وسليمان بن بلال وهو كما قاله
(2)المعجم الكبير للطبراني – (ج 7 / ص 286(
حَدَّثَنَا أَبُو عَقِيلٍ أَنَسُ بن سَلْمٍ الْخَوْلانِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن إِبْرَاهِيمَ بن الْعَلاءِ الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بن عَيَّاشٍ، حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ بن مُحَمَّدٍ الْقُرَشِيُّ، عَنْ يَحْيَى بن أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ سَعِيدِ بن عَبْدِ اللَّهِ الأَوْدِيِّ، قَالَ: شَهِدْتُ أَبَا أُمَامَةَ وَهُوَ فِي النَّزْعِ، فَقَالَ: إِذَا أَنَا مُتُّ، فَاصْنَعُوا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نصْنَعَ بِمَوْتَانَا، أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:”إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا”، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:”فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ”.
المقاصد الحسنة للسخاوي ج 1 ص 167
الطبراني في الدعاء ومعجمه الكبير من طريق محمد بن إبراهيم بن العلاء الحمصي حدثنا إسماعيل بن عياش حدثنا عبد الله بن محمد القرشي عن يحيى بن أبي كثير عن سعيد بن عبد الله الأودي وقال شهدت أبا أمامة وهو في النزع فقال إذا أنا مت فاصنعوا بي كما أمر رسول الله أن نصنع بموتانا أمرنا رسول الله فقال (إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم على قبره فليقم أحدكم على رأس قبره ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يسمعه ولا يجيب ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يستوي قاعدا ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يقول أرشد رحمك الله ولكن لا تشعرون فليقل اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله وأنك رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا ومحمد نبيا وبالقرآن إماما فإن منكرا ونكيرا يأخذ كل واحد منهما بيد صاحبه يقول انطلق ما تقعد عند من لقن حجته فيكون الله حجيجه دونهما) فقال رجل يا رسول الله فإن لم يعرف اسم أمه قال (فلينسبه إلى حواء فلان ابن حواء)
(3)الأذكار ج 1 ص 162
وأما تلقـين الـميت بعد الدفن، فقد قال جماعة كثـيرون من أصحابنا بـاستـحبـابه، ومـمن نصَّ علـى استـحبـابه: القاضي حسين فـي تعلـيقه، وصاحبه أبو سعد الـمتولـي فـي كتابه «التتـمة»، والشيخ الإمام الزاهد أبو الفتـح نصر بن إبراهيـم بن نصر الـمقدسي، والإمام أبو القاسم الرافعي وغيرهم، ونقله القاضي حسين عن الأصحاب. وأما لفظه: فقال الشيخ نصر: إذا فرغ من دفنه يقـف عند رأسه ويقول: يا فلان بن فلان، اذكر العهد الذي خرجت علـيه من الدنـيا: شهادة أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن مـحمداً عبدُه ورسوله، وأن الساعة آتـيةٌ لا ريبَ فـيها، وأن الله ببعث من فـي القبور، قل: رضيت بـالله ربـاً، وبـالإسلام ديناً، وبـمـحمد نبـياً، وبـالكعبة قبلةً، وبـالقرآن إماماً، وبـالـمسلـمين إخواناً، ربـي الله، لا إله إلا هو، وهو ربُّ العرش العظيـم، هذا لفظ الشيخ نصر الـمقدسي فـي كتابه «التهذيب»، ولفظ البـاقـين بنـحوه، وفـي لفظ بعضهم نقص عنه، ثم منهم من يقول: يا عبد الله بن أمة الله، ومنهم من يقول: يا عبد الله بن حواء، ومنهم من يقول: يا فلان ـ بـاسمه ـ ابن أمة الله، أو يا فلان بن حواء، وكله بـمعنًى. وسئل الشيخ الإمام أبو عمرو بن الصلاح ـ رحمه الله ـ عن هذا التلقـين، فقال فـي «فتاويه»: التلقـين هو الذي نـختاره ونعمل به، وذكره جماعة من أصحابنا الـخراسانـيـين، قال: وقد روينا فيه حديثا من حديث أبي أمامة ليس بالقائم إسناده ” (1) ، قال الحافظ بعد تخريجه : هذا حديث غريب ، وسند الحديث من الطريقين ضعيف جدا ولكن اعتضد بشواهد ، وبعمل أهل الشام به قديما. قال : وأما تلقين الطفل الرضيع ، فما له مستند يعتمد ، ولا نراه ، والله أعلم.
الجوهرة النيرة ص2 ج2
[مَنْ كَانَ آخِرُ كَلامِهِ لا إلَهَ إلا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ] وَأَمَّا تَلْقِينُ الْمَيِّتِ فِي الْقَبْرِ فَمَشْرُوعٌ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ لأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحْيِيه فِي الْقَبْرِ وَصُورَتُهُ أَنْ يُقَالَ يَا فُلانُ بْنَ فُلانٍ أَوْ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ اُذْكُرْ دِينَك الَّذِي كُنْت عَلَيْهِ وَقَدْ رَضِيت بِاَللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا. فَإِنْ قِيلَ إذَا مَاتَ مَتَى يُسْأَلُ اخْتَلَفُوا فِيهِ قَالَ بَعْضُهُمْ حَتَّى يُدْفَنَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ فِي بَيْتِهِ تُقْبَضُ عَلَيْهِ الأَرْضُ وَتَنْطَبِقُ عَلَيْهِ كَالْقَبْرِ وَالْقَوْلُ الأَوَّلُ أَشْهَرُ لأَنَّ الآثَارَ وَرَدَتْ بِهِ. فَإِنْ قِيلَ هَلْ يُسْأَلُ الطِّفْلُ الرَّضِيعُ فَالْجَوَابُ أَنَّ كُلَّ ذِي رُوحٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَإِنَّهُ يُسْأَلُ فِي الْقَبْرِ بِإِجْمَاعِ أَهْلِ السُّنَّةِ لَكِنْ يُلَقِّنُهُ الْمَلَكُ فَيَقُولُ لَهُ مَنْ رَبُّك ثُمَّ يَقُولُ لَهُ قُلْ اللَّهَ رَبِّي ثُمَّ يَقُولُ لَهُ مَا دِينُك ثُمَّ يَقُولُ لَهُ قُلْ دِينِي الإِسْلامُ ثُمَّ يَقُولُ لَهُ مَنْ نَبِيُّك ثُمَّ يَقُولُ لَهُ قُلْ نَبِيِّي مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لا يُلَقِّنُهُ بَلْ يُلْهِمُهُ اللَّهُ حَتَّى يُجِيبَ كَمَا أُلْهِمَ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلامُ فِي الْمَهْدِ.
فتاوى ابن حجر الهيثمي ج 5 ص 226
وَسُئِلَ) رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هَلْ تَلْقِينُ الْمَيِّتِ بَعْدَ صَبِّ التُّرَابِ أَوْ قَبْلَهُ وَإِذَا مَاتَ طِفْلٌ بَعْدَ مَوْتِ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا كَيْفَ الدُّعَاءُ فِي الصَّلاةِ عَلَيْهِ ؟ (فَأَجَابَ) رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِقَوْلِهِ لا يُسَنُّ التَّلْقِينُ قَبْلَ إهَالَةِ التُّرَابِ بَلْ بَعْدَهُ كَمَا اعْتَمَدَهُ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ وَجَزَمْتُ بِهِ فِي شَرْحِ الإِرْشَادِ وَإِنْ اخْتَارَ ابْنُ الصَّلاحِ أَنَّهُ يَكُونُ قَبْلَ الإِهَالَةِ قَالَ الإِسْنَوِيُّ وَسَوَاءٌ فِيمَا قَالُوهُ فِي الدُّعَاءِ فِي الصَّلاةِ عَلَى الطِّفْلِ مَاتَ فِي حَيَاةِ أَبَوَيْهِ أَمْ لا لَكِنْ خَالَفَهُ الزَّرْكَشِيُّ فَقَالَ إنْ كَانَ أَبَوَاهُ مَيِّتَيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا أَتَى بِمَا يَقْتَضِيهِ الْحَالُ وَالدَّمِيرِيُّ فَقَالَ إنْ كَانَ أَبَوَاهُ مَيِّتَيْنِ لَمْ يَدْعُ لَهُمَا. وَاَلَّذِي قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ أَوْجَهُ كَمَا ذَكَرْتُهُ فِي شَرْحِ الْعُبَابِ فَحِينَئِذٍ يَقُولُ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا لأَبَوَيْهِ وَسَلَفًا وَذُخْرًا وَهَذِهِ الأَوْصَافُ كُلُّهَا لائِقَةٌ بِالْمَيِّتِ وَالْحَيِّ فَلْيَأْتِ بِهَا سَوَاءٌ كَانَا حَيَّيْنِ أَوْ مَيِّتَيْنِ أَمَّا السَّلَفُ وَالذُّخْرُ فَوَاضِحٌ وَأَمَّا الْفَرَطُ فَهُوَ السَّابِقُ الْمُهَيِّئُ لِمَصَالِحِهِمَا فِي الآخِرَةِ وَلَيْسَ الْمُرَادُ السَّبْقَ بِالْمَوْتِ بَلْ السَّبْقَ بِتَهْيِئَةِ الْمَصَالِحِ وَلا شَكَّ أَنَّ الْمَيِّتَ يَحْتَاجُ إلَى مَنْ يَسْبِقُهُ إلَى الْجَنَّةِ أَوْ الْمَوْقِفِ لِيُهَيِّئَ لَهُ الْمَصَالِحَ وَوَلَدُهُ الطِّفْلُ كَذَلِكَ. وَأَمَّا الْعِظَةُ فَتَخْتَصُّ بِالْحَيِّ فَيَقُولُ وَعِظَةً لِلْحَيِّ مِنْ أَبَوَيْهِ فَإِنْ مَاتَا حَذَفَ هَذِهِ اللَّفْظَةَ وَكَذَلِكَ الاعْتِبَارُ وَالشَّفِيعُ عَامٌّ لِلْحَيِّ وَالْمَيِّتِ فَيَأْتِي بِهِ فِيهِمَا وَتَثْقِيلُ الْمَوَازِينِ كَذَلِكَ بِخِلافِ أَفْرِغْ الصَّبْرَ وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَأْتِي بِالأَلْفَاظِ كُلِّهَا سَوَاءٌ كَانَا حَيَّيْنِ أَمْ مَيِّتَيْنِ إلا قَوْلَهُ عِظَةً وَاعْتِبَارًا وَأَفْرِغْ الصَّبْرَ فَإِنَّهُ لا يَأْتِي بِهَا إلا إذَا كَانَا حَيَّيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا فَإِنْ كَانَا حَيَّيْنِ فَوَاضِحٌ أَوْ أَحَدُهُمَا فَقَطْ ذَكَرَهُ فَقَالَ وَعِظَةً وَاعْتِبَارًا لِلْحَيِّ مِنْهُمَا وَأَفْرِغْ الصَّبْرَ عَلَى قَلْبِ الْحَيِّ مِنْهُمَا وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج ج 1 ص 447
(ويسنُّ أن يقف جماعة بعد دفنه عند قبره ساعة يسألون لـه التثبيت) لأنه كان إذا فرغ من دفن الميت وقف عليه وقال: «اسْتَغْفِرُوا لأخِيكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ، فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ» رواه البزّار، وقال الحاكم: إنه صحيح الإسناد. وروى مسلم عن عمرو بن العاص أنه قال: «إذا دفنتموني فأقيموا بعد ذلك حول قبري ساعة قد ما تُنْحَرُ جزور ويفرَّقُ لحمها حتى أَستأنِسَ بكم وأعلم ماذا أراجع رُسُلَ ربي». ويسنُّ تلقينُ الميت المكلف بعد الدفن، فيقال لـه: «يا عبداللـه ابن أَمَةِ اللَّهِ أَذْكُر ما خرجت عليه من دار الدنيا شهادة أن لا إلـه إلاَّ اللـه وأن محمداً رسول اللـه، وأن الجنة حقّ، وأن النار حقّ، وأن البعث حقّ، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن اللـه يبعث من في القبور، وأنك رضيت باللـه ربّاً وبالإسلام ديناً وبمحمدٍ نبيّاً وبالقرآن إماماً وبالكعبة قِبْلَةً وبالمؤمنين إخواناً». لحديث وَرَدَ فيه. قال في الروضة: والحديث إن كان ضعيفاً لكنه اعتضد بشواهد من الأحاديث الصحيحة، ولم تزل الناس على العمل به من العصر الأوّل في زمن من يُقْتَدَى به، وقد قال تعالى: {وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ} ؛ وَأَحْوَجُ ما يكون العبد إلى التذكير في هذه الحالة؛ ويقعد الملقِّنُ عند رأس القبر. أما غير المكلَّف، وهو الطفل ونحوه ممن لم يتقدم لـه تكليفٌ، فلا يسنُّ تلقينه؛ لأنه لا يفتن في قبره. (و) يسنُّ (لجيران أهلـه) ولأقاربه الأباعد وإن كان الأهل بغير بلد الميت، (تهيئة طعام يشبعهم) أي أهلـه الأقارب، (يومهم وليلتهم) لقولـه لما جاء خبر قتل جعفر: «اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَاماً فَقَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ» حسَّنه الترمذي وصحّحه الحاكم؛ ولأنه بِرٌّ ومعروف.
تتمة في التلقين بعد الدفن اعلم أن مسألة التلقين قبل الموت لم نعلم فيها خلافا وأما بعد الموت وهي التي تقدم ذكرها في الهداية وغيرها فاختلف الأئمة والعلماء فيها فالحنفية لهم فيها ثلاثة أقوال الأول أنه يلقن بعد الموت لعود الروح للسؤال والثاني لا يلقن والثالث لا يؤمر به ولا ينهى عنه وعند الشافعية يلقن كما قال ابن حجر في التحفة ويستحب تلقين بالغ عاقل أو مجنون سبق له تكليف ولو شهيدا كما اقتضاه إطلاقهم بعد تمام الدفن لخبر فيه وضعفه اعتضد بشواهد على أنه من الفضائل فاندفع قول ابن عبد السلام أنه بدعة انتهى وأما عند الإمام مالك نفسه فمكروه قال الشيخ علي المالكي في كتابه كفاية الطالب الرباني لختم رسالة ابن أبي زيد القيرواني ما لفظه وأرخص بمعنى استحب بعض العلماء هو ابن حبيب في القراءة عند رأسه أو رجليه أو غيرهما ذلك بسورة يس لما روي أنه قال ما من ميت يقرأ عند رأسه سورة يس إلا هون الله تعالى عليه ولم يكن ذلك أي ما ذكر من القراءة عند المحتضر عند مالك رحمه الله تعالى أمرا معمولا وإنما هو مكروه عنده وكذا يكره عند تلقينه بعد وضعه في قبره انتهى وأما الحنبلية فعند أكثرهم يستحب قال الشيخ عبد القادر بن عمر الشيباني الحنبلي في شرح دليل الطالب ما لفظه واستحب الأكثر تلقينه بعد الدفن انتهى واستفيد منه أن غير الأكثر من الحنابلة يقول بعدم التلقين بعد الموت
سبل السلام – (ج 3 / ص 155(
وَعَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَحَدِ التَّابِعِينَ – قَالَ : كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إذَا سُوِّيَ عَلَى الْمَيِّتِ قَبْرُهُ ، وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ .أَنْ يُقَالَ عِنْدَ قَبْرِهِ : يَا فُلَانُ ، قُلْ : لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، يَا فُلَانُ : قُلْ رَبِّي اللَّهُ ، وَدِينِي الْإِسْلَامُ ، وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ ، رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ مَوْقُوفًا – وَلِلطَّبَرَانِيِّ نَحْوُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ مَرْفُوعًا مُطَوَّلًا .
(4)أضواء البيان ج 6 ص 225
ومما قاله ابن القيم في كلامه الطويل، قوله: وقد ترجم الحافظ أبو محمد عبد الحقّ الأشبيلي على هذا، فقال: ذكر ما جاء أن الموتى يسألون عن الأحياء، ويعرفون أقوالهم وأعمالهم، ثم قال: ذكر أبو عمر بن عبد البرّ من حديث ابن عباس، عن النبيّ صلى الله عليه وسلّم: «ما من رجل يمرّ بقبر أخيه المؤمن كان يعرفه فيسلم عليه، إلاّ عرفه وردّ عليه السّلام». ويروى من حديث أبي هريرة مرفوعًا، قال: «فإن لم يعرفه وسلّم عليه ردّ عليه السلام»، قال: ويروى من حديث عائشة رضي اللَّه عنها، أنّها قالت: قال رسول اللَّه صلى الله عليه وسلّم: «ما من رجل يزور قبر أخيه فيجلس عنده، إلاّ استأنس به حتى يقوم»، واحتجّ الحافظ أبو محمد في هذا الباب بما رواه أبو داود في سننه، من حديث أبي هريرة، قال: قال رسول اللَّه صلى الله عليه وسلّم: «ما من أحد يسلّم عليّ إلاّ ردّ اللَّه عليّ روحي حتى أردّ عليه السّلام». ثم ذكر ابن القيّم عن عبد الحق وغيره مرائي وآثارًا في الموضوع، ثم قال في كلامه الطويل: ويدلّ على هذا أيضًا ما جرى عليه عمل الناس قديمًا وإلى الآن، من تلقين الميت في قبره ولولا أنه يسمع ذلك وينتفع به لم يكن فيه فائدة، وكان عبثًا. وقد سئل عنه الإمام أحمد رحمه اللَّه، فاستحسنه واحتجّ عليه بالعمل. ويروى فيه حديث ضعيف: ذكر الطبراني في معجمه من حديث أبي أُمامة، قال: قال رسول اللَّه صلى الله عليه وسلّم: «إذا مات أحدكم فسوّيتم عليه التراب، فليقم أحدكم على رأس قبره، فيقول: يا فلان ابن فلانة»، الحديث. وفيه: «اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة ألا إله إلا اللَّه، وأن محمّدًا رسول اللَّه، وأنك رضيت باللَّه ربًّا، وبالإسلام دينًا، وبمحمّد نبيًّا، وبالقرءان إمامًا»، الحديث. ثم قال ابن القيّم: فهذا الحديث وإن لم يثبت، فاتصال العمل به في سائر الأمصار والأعصار من غير إنكار كاف في العمل به
المجموع شرح المهذب ج 5 ص 226
الرابعة: قال جماعات من أصحابنا يستحب تلقين الميت عقب دفنه فيجلس عند رأسه إنسان ويقول: «يا فلان ابن فلان ويا عبد الله بن أمة الله اذكر العهد الذي خرجت عليه من الدنيا، شهادة أن لا إله إلاّ الله وحده لا شريك له. وأن محمداً عبده ورسوله وأن الجنة حق وأن النار حق وأن البعث حق وأن الساعة آتية لا ريب فيها وأن الله يبعث من في القبور. وإنك رضيت بالله رباً وبالإسلام ديناً وبمحمد نبياً وبالقرآن إماماً وبالكعبة قبلة وبالمؤمنين إخواناً» زاد الشيخ نصر: «ربي الله لا إله إلاّ هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم» فهذا التلقين عندهم مستحب، وممن نص على استحبابه القاضي حسين والمتولي والشيخ نصر المقدسي والرافعي وغيرهم. ونقله القاضي حسين عن أصحابنا مطلقاً، وسئل الشيخ أبو عمرو بن الصلاح رحمه الله عنه فقال: (التلقين هو الذي نختاره ونعمل به، قال: وروينا فيه حديثاً من حديث أبي أمامة ليس إسناده بالقائم، لكن اعتضد بشواهد، وبعمل أهل الشام قديماً) هذا كلام أبي عمرو. قلت: حديث أبي أمامة رواه أبو القاسم الطبراني في معجمه بإسناد ضعيف، ولفظه: عن سعيد بن عبد الله الأزدي قال: «شهدت أبا أمامة رضي الله عنه وهو في النزع فقال: إذا مت فاصنعوا بي كما أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلّم فقال: إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم أحدكم على رأس قبره ثم ليقل: يا فلان ابن فلانة فإنه يسمعه ولا يجيب، ثم يقول: يا فلان ابن فلانة فإنه يستوى قاعداً، ثم يقول: يا فلان ابن فلانة فإنه يقول: أرشدنا رحمك الله ولكن لا تشعرون، فليقل اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلاّ الله وأن محمداً عبده ورسوله وإنك رضيت بالله رباً، وبالإسلام ديناً، وبمحمد نبياً وبالقرآن إماماً، فإن منكراً ونكيراً يأخذ كل واحد منهما بيد صاحبه ويقول انطلق بنا ما نقعد عند من لقن حجته فقال رجل يا رسول الله فان لم نعرف أمه قال فينسبه إلى امه حواء يا فلان ابن حواء ” قلت فهذا الحديث وان كان ضعيفا فيستأنس به وقد اتفق علماء المحدثين وغيرهم علي المسامحة في أحاديث الفضائل والترغيب والترهيب وقد أعتضد بشواهد من الاحاديث كحديث ” واسألوا له الثبيت ” ووصية عمرو بن العاص وهما صحيحان سبق بيانهما قريبا ولم يزل اهل الشام علي العمل بهذا في زمن من يقتدى به والي الآن وهذا التلقين انما ” هو في حق المكلف الميت اما الصبى فلا يلقن والله اعلم
(5)سبل السلام – (ج 3 / ص 151)
وَعَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ { : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ وَقَالَ : اسْتَغْفِرُوا ؛ لِأَخِيكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ } رَوَاهُ أَبُو دَاوُد ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ .
(6)رياض الصالحين – (ج 1 / ص 477)
وعن عمرو بن العاص – رضي الله عنه – ، قَالَ : إِذَا دَفَنْتُمُونِي ، فَأقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ ، وَيُقَسَّمُ لَحمُهَا حَتَّى أَسْتَأنِسَ بِكُمْ ، وَأعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي . رواه مسلم
(7)التاج والإكليل لمختصر خليل ج 3 ص 3
قال أبو حامد : ويستحب تلقين الميت بعد الدفن. وقال ابن العربي في مسالكه: إذا أدخل الميت قبره فإنه يستحب تلقينه في تلك الساعة وهو فعل أهل المدينة الصالحين من الأخيار لأنه مطايق لقوله تعالى: {وذكر فإن الذكرى تنفع المؤمنين} وأحوج ما يكون العبد إلى التذكير بالله عند سؤال الملائكة
لسان العرب
اللَّقْنُ: مصدر لَقِنَ الشيءَ يَلْقَنُه لَقْناً ، وكذلك الكلامَ، وتَلَقَّنه : فَهِمه. ولَقَّنَه إِياه: فَهَّمه. وتَلَقَّنته: أَخذته لَقانِـيَةً. وقد لَقَّنَنـي فلانٌ كلاماً تَلْقـيناً أَي فَهَّمَنـي منه ما لـم أَفْهَم. والتَّلْقِـين: كالتَّفْهِيم.
تفسير تنوير الأذهان ص 125 ج 3
{ان} ما {انت الا نذير} منذر بالنار والعقاب واما الاسماع البتة فليس من وظائفك ولا حيلة لك اليه فى المطبوع على قلوبهم الذين هم بمنزلة الموتى وقولـه {ان اللـه يسمع} الخ وقولـه {انك لا تهدى من احببت ولكن اللـه يهدى من يشاء} وقولـه {ليس لك من الامر شئ} وغير ذلك لتمييز مقام الالوهية عن مقام النبوة كيلا يشتبها على الامة فيضلوا عن سبيل اللـه كما ضل بعض الامم السالفة فقال بعضهم عزير ابن اللـه وقال بعضهم المسيح ابن اللـه وذلك من كمال رحمته لـهذه الامة وحسن توفيقه. يقول الفقير ايقظه اللـه القدير ان قلت قد ثبت انه عليه السلام امر يوم بدر بطرح اجساد الكفار فى القليب ثم ناداهم باسمائهم وقال ” هل وجدتم ما وعد اللـه ورسولـه حقا فانى وجدت ما وعدنى اللـه حقا ” فقال عمر رضى اللـه عنه يا رسول اللـه كيف تكلم اجساد الارواح فيها فقال عليه السلام ” ما انتم با سمع لما اقول منهم غير انهم لا يستطيعون ان يردوات شيأ ” فهذا الخبر يقتضى ان النبى عليه السلام اسمع من فى القليب وهم موتى وايضا تلقين الميت بعد الدفن للاسماع والا فلا معنى لـه. قلت اما الاول فيحتمل ان اللـه تعالى احيى اهل القليب حينئذ حتى سمعوا كلام رسول اللـه توبيخالـهم وتصغيرا ونقمة وحسرة والا فالميت من حيث ميت ليس من شأنه السماع وقولـه عليه السلام ” ما انتم باسمع ” الخ يدل على ان الارواح اسمع من الاجساد مع الارواح لزوال حجاب الحس وانخراقة. واما الثانى فانما يسمعه اللـه ايضا بعد احيائه بمعنى ان يتعلق الروح بالجسد تعلقا شديدا بحيث يكون كما فى الدنيا فقد اسمع الرسول عليه السلام وكذا الملقن باسماع اللـه تعالى وخلق الحياة والا فليس من شأن احد الاسماع كما انه ليس من شأن الميت السماع واللـه اعلم
Filed under: www.forsansalaf.com : Perintah Talqin Mayit | Tagged: www.forsansalaf.com : Perintah Talqin Mayit | Leave a Comment »
*Imam adzahabi (ahlusunnah) membungkam Wahabi
Adz Dzahabi Menohok Ajaran Wahabi [[[ Masalah Tabarruk ]]]
Lihat ini kitab berjudul:
Mu’jam asy Syuyukh
Karya adz Dzahabi; salah seorang murid Ibnu Taimiyah
Ini terjemah yang ditandai:
“Imam Ahmad pernah ditanya tentang mengusap makam nabi dan menciumnya; dan beliau melihat bahwa melakukan perkara itu bukan suatu masalah (artinya boleh)”.
“Jika dikatakan: Bukankah para sahabat tidak pernah melakukan itu? Jawab: Karena mereka melihat langsung Rasulullah dan bergaul dengannya, mereka mencium tangannya, bahkan antar mereka hampir “ribut” karena berebut sisa/tetesan air wudlunya, mereka membagi-bagikan rambut Rasulullah yang suci pada hari haji akbar, bahkan apa bila Rasulullah mengeluarkan ingus maka ingusnya tidak akan pernah jatuh kecuali di atas tangan seseorang (dari sahabatnya) lalu orang tersebut menggosok-gosokan tangannya tersebut ke wajahnya”.
“Tidakkah engkau melihat apa yang dilakukan oleh Tsabit al Bunani?, beliau selalu mencium tangan Anas ibn Malik dan meletakannya pada wajahnya, beliau berkata: Inilah tangan yang telah menyentuh tangan Rasulullah. Perkara-perkara semacam ini tidak akan terjadi pada diri seorang muslim kecuali karena dasar cintanya kepada Rasulullah”.
Semoga kita dikupulkan bersama Rasulullah dan para sahabatnya kelak. Amin.
Lagi (Bag. 2); adz Dzahabi Menohok Ajaran Sesat Wahabi [[[ Masalah Tabarruk ]]]
Lihat, kitab ini berjudul:
Siyar A’lam an-Nubala’
Karya adz Dzahabi; salah seorang murid Ibnu Taimiyah, yang seringkali menjadi rujukan Wahabi
Ini terjemah yang ditandai:
“Abdullah bin Ahmad (anak Imam Ahmad ibn Hanbal) berkata: Saya telah melihat ayahku (Imam Ahmad ibn Hanbal) mengambil sehelai rambut dari rambut-rambut Rasulullah, lalu ia meletakan rambut tersebut di mulutnya; ia menciuminya. Dan aku juga melihatnya meletakan rambut tersebut di matanya, dan ia juga mencelupkan rambut tersebut pada air lalu meminumnya untuk tujuan mencari kesembuhan dengannya.
Aku juga melihat ayahku mengambil wadah (bejana/piring) milik Rasulullah, beliau memasukannya ke dalam dalam air, lalu beliau minum dari air tersebut. Aku juga melihatnya meminum dari air zamzam untuk mencarikesembuhan dengannya, dan dengan air zamzam tersebut ia mengusap pada kedua tangan dan wajahnya.
Aku (adz Dzahabi) katakan: Mana orang yang keras kepala mengingkari Imam Ahmad?? Padahal telah jelas bahwa Abdullah (putra Imam Ahmad) telah bertanya kepada ayahnya sendiri (Imam Ahmad) tentang orang yang mengusap-usap mimbar Rasulullah dan ruang (makam) Rasulullah; lalu Imam Ahmad menjawab: “Aku tidak melihat itu suatu yang buruk (artinya boleh)”. Semoga kita dihindarkan oleh Allah dari faham-faham sesat Khawarij dan para ahli bid’ah”.
Anda tahu? Sebenarnya yang ahli bid’ah itu adalah kaum Wahhabi, karena mereka memandang sesat terhadap sesuatu yang telah disepakati kebaikannya…. tabarruk ko dibilang bid’ah; tabarruk itu dari zaman Rasulullah masih hidup sudah ada.
Nasehat adz-Dzahabi Terhadap Ibn Taimiyah; Bukti Pengakuan Seorang Murid Bagi Kesesatan Sang Guru
Al-Hâfizh adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, –terutama dalam masalah akidah–, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah pengikut madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan faham-faham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Untuk ini kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.
Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi Ibn Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9/ bukunya ada sama saya]:
“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.
Adapun nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11]:
“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam diriku.
Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!
Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!
Oh… Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!
Oh… Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!
Oh… Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan. Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)Hai Bung…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)
Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.
Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka dengan logika kita??
Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.
Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.
Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!
Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!
Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!
Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!
Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.
Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.
Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.
Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya sekalian.
Ibn al Jawzi Dalam Sifat as Shofwah Menganjurkan Ziarah Ke Makam Orang2 Saleh Dan Tawassul, Sementara Wahabi Mengatakan Syirik
Shifat ash Shafwah
Karya al Imam al Hafizh Abu al Faraj Abdurrahman Ibn al Jauzi (w 597 H) salah seorang ulama Ahlussunnah terkemuka bermadzhab Hanbali; hidup jauh sebelum Ibnu Taimiyah
berikut ini adalah terjemahan dari yang digaris bawahi:
Dia (Imam Ma’ruf al Karkhi) adalah obat yang mujarab, karenanya siapa yang memiliki kebutuhan maka datanglah ke makamnya dan berdoalah (meminta kepada Allah) di sana; maka keinginannya akan terkabulkan InsyaAllah.
Makam beliau (Imam Ma’ruf al Karkhi) sangat terkenal di Baghdad; yaitu tempat untuk mencari berkah. Adalah Imam Ibrahim al Harbi berkata: Makam Imam Ma’ruf al Karkhi adalah obat yang mujarab”.
Orang-orang Wahabi membawa ajaran baru dan aneh. Pengakuan mereka sebagai pengikut madzhab Hanbali adalah BOHONG BESAR. Mereka bukan para pengikut madzhab Hanbali; baik dalam aqidah maupun fiqih. Madzhab mereka adalah madzhab WAHABI.
Lihat kutipan scan di atas, salah seorang ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah bermadzhab Hanbali membolehkan tabarruk (mencari berkah) dengan ziarah ke makam orang-orang saleh, sementara Wahabi berkata perbuatan tersebut adalah: “SYIRIK, KUFUR, BID’AH, TAHAYUL, KHURAFAT, SESAT” dan label penyesatan lainnya.
Setelah mereka melihat scan ini; kita sodorkan pertanyaan kepada mereka: “Yang sesat itu Ibnul Jauzi atau kalian”????????????????????????????????????????????????????????????
Pertanyaan ini harus mereka pertanggungjawabkan……….
Daurah masyayikh salafy timur tengah, Daurah kitab albany, Daurah daurah salafy/wahaby saudy
Syaikh nashiruddin albany, yang sering membuat fatwa-fatwa heboh dan menyesatkan ahirnya taubat sebelum matinya……disalah satu kitab terakhirnya (ia mentkhrij kitab imam adzahabi alasy’ary) albany akhirnya mengakui aqidah ahlusunnah walja’maah (Allah ada tanpa tempat dan arah) berbeda dgn fatwa-fatwa sebelumnya……mari kita lihat bukti kitab nya!!!
Maka salafy/wahaby pun ramai-ramai mengkafirkannnya!!, …..jamaah takfir akhirnya salang mengkafirkan sesamanya sendiri….na’dzubillah…
ALBANI & AZ-ZAHABI KATA: AKIDAH ISLAM ADALAH “ALLAH WUJUD TANPA BERTEMPAT” & ALLAH TIDAK BERSEMAYAM/DUDUK ATAS ARASY.Oleh: Abu Syafiq ( Hp: 006-012-2850578 )Sememang kebenaran akidah Islam tidak dapat ditolak oleh golongan munafiq mahupun kafir Mujassim. Ini kerana burhan dan adillah (hujjah dan dalil) yang terbit dari sumber yang mulia iaitu Al-Quran dan Hadith tiada secebis pun keraguan manakan pula kebatilan. Antara akidah Islam adalah “ Allah Wujud Tanpa Bertempat” dan inilah antara yang Ahlu Sunnah Wal Jama’ah war-warkan bagi memberi kefahaman yang tepat dalam perbincangan akidah Islam dalam mentauhidkan diri kepada Allah. WAHHABI MALAYSIA KAFIRKAN ALBANI & AZ-ZAHABI Kesemua Wahhabi di Malaysia berakidah dengan akidah yang tidak menepati Al-Quran dan Hadith Nabawi.Ini amat jelas dengan hujjah yang telah saya ( Abu Syafiq ) kemukakan sebelum2 ini berlandaskan ayat2 Allah dan sabda Nabi Muhammad berkonsepkan kaedah ulama Salaf dan Khalaf tulen. Semua Wahhabi di Malaysia yang berakidah Allah Bertempat telah menghukum kafir terhadap umat Islam yang berakidah benar Allah Wujud Tanpa Bertempat. Pada masa yang sama Wahhabi di Malaysia alpa akan akidah tok guru mereka sendiri Nasiruddin Al-Bany dan rujukan utama mereka Al-Hafiz Az-Zahaby yang juga berakidah Allah Wujud Tanpa Bertempat, malangnya Wahhabi mengkafirkan sesiapa yang berakidah sedemikian. Ini amat jelas semua Wahhabi di Malaysia bukan hanya mengkafirkan umat Islam bahkan turut mengkafirkan tok guru dan rujukan utama mereka sendiri iaitu Al-Bani dan Az-Zahabi.Silakan pembaca rujuk teks kenyataan Allah Wujud Tanpa Bertempat Dan Tanpa Berarah oleh Al-Bani & Az-Zahabi :Kitab: Mukhtasor ‘Ulu Li ‘Aliyyil ‘Azhim.Pengarang: Syamsuddin Az-Zahabi.Pentahkik: Nasiruddin Al-Bani. Cetakan: Maktab Islami.Mukasurat: 71.Kenyataan teks Al-Bani bersumber kitab di atas :“ Apabila kamu telah mendalami perkara tersebut, denganizin Allah kamu akan faham ayat-ayat Al-Quran dan Hadith Nabai serta kenyataan para ulama Salaf yang telah dinyatakan oleh Az-Zahabi dalam kitabnya ini Mukhtasor bahawa erti dan maksud sebalik itu semua adalah makna yang thabit bagi Allah iaitu ketinggian Allah pada makhluk-makhlukNya ( bukan ketinggian tempat), istawanya Allah atas arasyNya layak bagi keagonganNya dan Allah tidak ber arah dan Allah tidak bertempat”. (Sila rujuk kitab tersebut yang telah di scan di atas).Saya menyatakan: Al-Bani telah nukilan lafaz akidah yang benar walaupun ulama Islam telah maklum bahawa golongan Mujassimah dan Tabdi’ ini pada hakikatnya akidah mereka sering berbolak balik. Albani pun mengatakan Allah tidak bertempat tetapi Wahhabi di Malaysia pula berakidah Allah itu bertempat bahkan mereka mengkafirkan pula sesiapa yang percaya Allah wujud tanpa bertempat. Kenyatan Al-Bani menafikan tempat bagi Allah adalah secara mutlak dan tidak disebut tempat yang makhluk atau tidak dan ini juga adalah bukti Al-Bani dan Az-Zahabi menafikan Allah Bersemayam/Duduk Atas Arasy. Sememangnya Al-Bani dan Az-Zahabi sering menolak akidah Allah Bersemayam/Duduk Atas ‘Arasy. Soalan saya kepada Wahhabi..mengapa kamu mengkafirkan Muhaddith kamu ini? Adakah Syeikh Islam kamu, ulama kamu dan Muftary kamu termasuk Albani ini adalah kafir kerana berakidah Allah Tidak Bertempat?Sekiranya TIDAK maka mengapa kamu bawa akidah palsu dan sekiranya YA maka kamu semua adalah NAJIS SYAITON!. Wahai pembaca yang berakal dan budiman…. – Albani berakidah “ Allah Wujud Tanpa Bertempat dan Tidak Ber Arah ” tetapi Wahhabi Malaysia kafirkan akidah tersebut. – Hafiz Az-Zahabyi berakidah “ Allah Wujud Tanpa Bertempat dan Tanpa Ber Arah ” tetapi Wahhabi Malaysia kafirkan akidah tersebut bahkan Wahhabi berakidah Allah bertempat. Sila rujuk bukti: http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/12/buku-wahhabi-yang-tersebar-di-seluruh.htmlNah..! Dimanakah hendak dikategorikan golongan Wahhabi ini? Jamban,mangkuk, tandas? atau di tanah perkuburan yang hanya disemadikan dalamnya ahli-ahli Mujassimah pengkhianat amanah?!. Apapun saya doakan hidayah keimanan diberikan oleh Allah kepada Wahhabi yang masih hidup. Wassalam. www.abu-syafiq.blogspot.com ________________________________KITAB-KITAB IMAM ADZAHABY SERING DIJADIKAN RUJUKAN-RUJUKAN PALSU OLEH WAHABY TAPI KALAU KITA LIHAT KITAB ASLINYA, AKAN LAIN JADINYA…. LIHAT KITAB ASLI IMAM ADZAHABY YANG BELUM DITAKHRIJ OLEH ALBANY :AL-HAFIZ AZ-ZAHABI KAFIRKAN AKIDAH: ALLAH DUDUK
AL-HAFIZ AZ-ZAHABI KAFIRKAN AKIDAH: ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK
Oleh: Abu Syafiq ( Tel HP 006-012-2850578)
*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. ___________________________________________________________________________
Hakikat kebenaran tetap akan terserlah walaupun lidah syaitan Wahhabi cuba merubahnya. Kali ini dipaparkan bagaimana rujukan utama Wahhabi iaitu Al-Hafiz Az-Zahabi sendiri mnghukum kafir akidah sesat: Allah Bersemayam/Duduk yang dipelopori oleh Wahhabi pada zaman kini. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.
Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” : ( RUJUK SCAN KITAB TERSEBUT DI ATAS )
Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,
cetakan pertama 1410h.
Terjemahan.:
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi: “Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”.
Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142. Perhatikan bagaimana Az-Zahabi menghukum kafir sesiapa yang mendakwa Allah bersifat Duduk. Sesiapa yang mengatakan Allah Duduk maka dia kafir. Fokuskan pada kenyataan Az-Zahhabi tidak pula mengatakan “sekiranya seseorang itu kata Allah Duduk seperti makhlukNya maka barulah dia kafir” akan tetapi amat jelas Az-Zahabi terus menghukum kafir kepada sesiapa yang mendakwa Allah Duduk disamping Az-Zahabi menukilkan hukum tersebut dari seluruh ulama Islam.
Wahai Mohd Asri Zainul Abidin dan Wahhabi yang lain…ketahuilah apabila anda semua mengatakan Allah Duduk merupakan kekufuran yang telah dihukum oleh Az-Zahabi sendiri dan ulama Islam. Tidak perlu ditunggu kenyataan “ Allah Duduk Seperti MakhlukNya” baru nak dihukum kafir akan tetapi dengan mengatakan Allah Duduk maka ia merupakan perkataan kufur terkeluar dari Islam sepertimana yang dinyatakan oleh Al-Hafiz Az-Zahabi. Bertaubatlah wahai Wahhabi. www.abu-syafiq.blogspot.com http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/11/al-hafiz-az-zahabi-kafirkan-akidah.html
3. Imam 4 madzab kafirkan Aqidah Mujasimmah (Tuhan Bertempat/duduk)
. Hujjah Imam Abu Hanifah yg beliau tulis dalam kitab wasiat nya :
( DIATAS ADALAH KENYATAAN IMAM ABU HANIFAH DALAM KITAB WASIAT BELIAU PERIHAL ISTAWA )IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.
Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.
Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.
Filed under: *Imam adzahabi (ahlusunnah) membungkam Wahabi | Tagged: *Imam adzahabi (ahlusunnah) membungkam Wahabi | Leave a Comment »
Qadli al Qudlat al Imam al Hafizh al Mufassir al Mujtahid Ali ibn Abdil Kafi as Subki (w756) Membongkar Kekufuran Ibnu Taimiyah
Kitab ini berjudul “ad Durrah al Mudliyyah Fi ar Radd Ala Ibn Taimiyah”; dalam bahasa kita artinya “Mutiara yang bersinar dalam bantahan terhadap Ibnu Taimiyah”.
Karya:
Qadli al Qudlat al Imam al Hafizh al Mufassir al Mujtahid
Ali ibn Abdil Kafi as Subki (w 756 H)
Seorang ulama besar yang telah mencapai derajat mujtahid mutlaq. Hidup semasa dengan Ibnu Taimiyah dan telah mengkafirkan Ibnu Taimiyah karena kesesatan-kesesatannya.
Berikut terjemah bebas dari pembukaan kitab tersebut (alenia 2):
Sesungguhnya Ibnu Taimiyah telah membuat perkara-perkara baru dalam dasar-dasar aqidah, merusak pokok-pokok ajaran Islam dan keyakinan-keyakinan di dalamnya; ia “membungkus dirinya (bersembunyi untuk mengelabui orang lain)” dengan mengaku sebagi orang yang memegang teguh al Qur’an dan Sunnah, ia menampakan (seolah-olah) sebagai penyeru kepada kebenaran dan membawa petunjuk ke jalan surga, sungguh sebenarnya ia telah keluar dari jalan ittiba’ (ikut kepada ajaran al Qur’an dan Sunnah) kepada jalan ibtida’ (menjadi ahli bid’ah menyesatkan), ia membawa ajaran “nyeleneh” dengan menyimpang dari ajaran mayoritas umat Islam (Ahlussunnah Wal Jama’ah) dengan menyalahi perkara-perkara yang telah menjadi ijma’ (kensensus) di antara mereka, ia membawa ajaran (kufur) mengatakan bahwa Dzat Allah adalah benda yang memiliki susunan-susunan, mengatakan tidak mustahil bahwa Allah membutuhkan kepada anggota-anggota badan, mengatakan alam ini (segala sesuatu selain Allah) menyatu dengan Dzat-Nya, mengatakan bahwa al Qur’an itu baharu dan Allah mengeluarkan huruf-huruf al Qur’an tersebut dari yang semula Dia diam (menurutnya Allah berkata-kata dengan lafazh-lafazh al Qur’an, lalu diam, lalu berkata-kata, lalu diam.. demikian seterusnya), mengatakan bahwa Allah memiliki kehendak-kehendak yang baharu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para hamba-Nya, bahkan ia mengatakan bahwa alam ini qadim; tidak memiliki permulaan, ………..